TUGAS : HUKUM TATA NEGARA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
DI SUSUN OLEH :
NAMA
: ILHAM KASWANTO
KELAS
: B
STAMBUK : H1A114103
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2015
A.
MASA SEBELUM PROKLAMASI
1.
Masa Penjajahan Belanda
Masa penjajahan Belanda
terhadap Indonesia terjadi selama kurang lebih 3,5 abad. Secara langsung ketika
ada suatu negara yang menjajah negara lain, sudah pasti negara jajahan akan
dipaksa untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh penjajah, baik berupa hukum
yang mengatur kehidupan individu dengan
individu, individu dengan pemerintah dan termasuk hukum yang mengatur
tentang tata cara pelaksanaan kenegaraan.
Pada masa ini Indonesia
disebut dengan nama Hindia Belanda yang dikonstruksikan sebagai bagian dari
Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan
Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada
di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan
kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur
Jenderal sebagai pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana Pemerintahan
kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen.Hal ini menunjukkan
bahwa sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda pada masa itu
adalah sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan
perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah
:
a) Undang Undang Dasar
Kerajaan Belanda 1938
1.
Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda.
2.
Pasal 62 : Ratu
Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia,
dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
3.
Pasal 63 :
Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern
Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali
ditentukan lain dengan Undang-Undang.
b)Indische
Staatsregeling ( IS )
Pada hakekatnya adalah
Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur
tentang pokok-pokok dari
Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil
IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian
secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala
wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda).
Adapun bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah .
1.
WET, adalah
peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja
Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata
lain WET di dalam pemerintah Indonesia bisa disebut Undang-Undang.
2.
AMVB (Algemene
Maatregedling Van Bestuur), adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda
dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur
tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di
Indonesia bisa disebut Peraturan Pemerintah (PP).
3.
Ordonantie, Yang
dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur
Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (dewan rakyat Hindia Belanda).
Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah (perda) di dalam pemerintahan
Indonesia saat ini.
4.
RV (Regering
Verardening), adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda
tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan
Keputusan Gubernur.
Keempat peraturan
perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum).
Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang
dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati,
Wedana dan Camat. Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang
dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak
terlalu terlihat mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi
yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda
(Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Sistem ketatanegaraan
seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :
a)
Kekuasaan
eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat).
b)
Kekuasaan
kehakiman ada pada Hoge Rechshof (mahkamah agung)
c)
Pengawas
keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan
seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada
masa proklamasi kemerdekaan. Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di
atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut
sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut
negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah
terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat
juga ada. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul
karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada
kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu .
Maksudnya wilayah dan
rakyat yang ada di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum
masuk dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain wilayah Nusantara dan
masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman dahulu. Ditinjau
dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia
Belanda ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi
sebagai penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai
daerah jajahan Kerajaan Belanda.