TUGAS : HUKUM TATA NEGARA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
DI SUSUN OLEH :
NAMA
: ILHAM KASWANTO
KELAS
: B
STAMBUK : H1A114103
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2015
A.
MASA SEBELUM PROKLAMASI
1.
Masa Penjajahan Belanda
Masa penjajahan Belanda
terhadap Indonesia terjadi selama kurang lebih 3,5 abad. Secara langsung ketika
ada suatu negara yang menjajah negara lain, sudah pasti negara jajahan akan
dipaksa untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh penjajah, baik berupa hukum
yang mengatur kehidupan individu dengan
individu, individu dengan pemerintah dan termasuk hukum yang mengatur
tentang tata cara pelaksanaan kenegaraan.
Pada masa ini Indonesia
disebut dengan nama Hindia Belanda yang dikonstruksikan sebagai bagian dari
Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan
Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada
di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan
kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur
Jenderal sebagai pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana Pemerintahan
kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen.Hal ini menunjukkan
bahwa sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda pada masa itu
adalah sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan
perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah
:
a) Undang Undang Dasar
Kerajaan Belanda 1938
1.
Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda.
2.
Pasal 62 : Ratu
Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia,
dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
3.
Pasal 63 :
Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern
Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali
ditentukan lain dengan Undang-Undang.
b)Indische
Staatsregeling ( IS )
Pada hakekatnya adalah
Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur
tentang pokok-pokok dari
Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil
IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian
secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala
wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda).
Adapun bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah .
1.
WET, adalah
peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja
Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata
lain WET di dalam pemerintah Indonesia bisa disebut Undang-Undang.
2.
AMVB (Algemene
Maatregedling Van Bestuur), adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda
dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur
tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di
Indonesia bisa disebut Peraturan Pemerintah (PP).
3.
Ordonantie, Yang
dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur
Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (dewan rakyat Hindia Belanda).
Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah (perda) di dalam pemerintahan
Indonesia saat ini.
4.
RV (Regering
Verardening), adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda
tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan
Keputusan Gubernur.
Keempat peraturan
perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum).
Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang
dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati,
Wedana dan Camat. Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang
dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak
terlalu terlihat mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi
yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda
(Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Sistem ketatanegaraan
seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :
a)
Kekuasaan
eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat).
b)
Kekuasaan
kehakiman ada pada Hoge Rechshof (mahkamah agung)
c)
Pengawas
keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan
seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada
masa proklamasi kemerdekaan. Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di
atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut
sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut
negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah
terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat
juga ada. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul
karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada
kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu .
Maksudnya wilayah dan
rakyat yang ada di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum
masuk dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain wilayah Nusantara dan
masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman dahulu. Ditinjau
dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia
Belanda ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi
sebagai penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai
daerah jajahan Kerajaan Belanda.
Lepas dari kandang
macan lalu masuk kandang singa. Maksudnya, setelah lepas dari masa penjajahan
Belanda, Negara Indonesia ini tak bisa
langsung menikmati kemerdekaan. Indonesia masuk dalam genggaman Jepang yang
dalam penjajahannya selama 3,5 tahun, walaupun terhitung sebentar yang jika
dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Namun dalam masa yang relatif
sebentar itu, aturan-aturan yang pernah ada semasa dahulu masih diterapkan dan
tidak dibuang begitu saja. Hal itu dikarenakan pengaruhnya yang juga kuat dan
sampai saat ini pun Indonesia banyak mengambil/mengadopsi aturan-aturan pada
masa Belanda ataupun Jepang.
Sejarah pada masa
penjajahan Jepang ini ada karena adanya Perang Asia Timur Raya atau yang biasa
dikenal dengan sebutan Perang Dunia Ke II. Pada masa itu terdapat kekuatan
angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan
inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang,
tidak terkecuali negara Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah
kolonialisme Belanda.
Dalam sejarah Perang
Dunia ke-II, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah
a.Sebagai penguasa
pendudukan
Sebagai penguasa
pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan
ketatanegaraan/hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan
Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara
bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan
kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi
tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan
bala tentara Jepang.
b.Menjanjikan
kemerdekaan bangsa Indonesia
Jepang berusaha
mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya
termasuk Indonesia dengan menyebut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah
Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan
kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan
membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian
melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
c. Sebelum PPKI berhasil melaksanakan
sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI,
Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula
sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap
dipertahankan seperti sedia kala atas dalam kondisi status quo.
Perlu diketahui pula
pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga
wilayah besar yaitu :
1.
Daerah yang
meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan
pusat kedudukan di Bukittinggi.
2.
Daerah yang
meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan
di Jakarta.
3.
Daerah-daerah
selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar.
Dari pembagian wilayah
ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi
model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham militeristik
seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur
komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap
serangan musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi kalau
sistem ketatanegaraan yang diberlakukan adalah bersifat Talistik. Salah satu
peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia
sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No 40 Osamu
Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang
cenderung berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai
undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada
papan-papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.
Dalam rangka persiapan kemerdekaan
Indonesia maka dibentuk BPUPKI, yang telah berhasil membuat Rancangan Dasar
Negara pada tanggal 25 Mei s.d. 1 Juni 1945 dan Rancangan UU Dasar pada tanggal
10 Juli s.d. 17 Juli 1945. Pada tanggal 11 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan
dibentuk PPKI yang melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI dan
berhasil membuat UUD 1945 yang mulai diberlakukan tanggal 18 Agustus 1945.
B.
MASA SETELAH
PROKLAMASI
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka hal-hal yang dilakukan adalah
:
1.
Menetapkan UUD
Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
2.
Menetapkan
Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
3.
Pembentukan
Departemen-Departemen oleh Presiden.
4.
Pengangkatan
anggota Komite Nasional Indonesi Pusat (KNIP) oleh Presiden
Sistem pemerintahan
negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Sistem Pemerintahan Presidensial
(Sistem Kabinet Presidensial), yang bertanggung jawab terhadap jalannya
pemerintahan adalah Presiden. Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden adalah Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi
"perubahan praktik ketatanegaraan" Republik Indonesia tanpa mengubah
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut ialah dengan keluarnya
Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal
14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945
tersebut terjadi perubahan dari sistem pemerintahan Presidensial (Sistem
Kabinet Presidensial) menjadi sistem pemerintahan Parlementer (Sistem Kabinet
Parlementer). Sehingga dengan Maklumat-maklumat tersebut menimbulkan persoalan
dalam pelaksanaan pemerintahan mengenai system pemerintahan dimana menurut
Pasal 4 UUD 45 ditegaskan bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan
Pasal 17 menetapka bahwa “ Menteri Negara diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, system pemerintahan menurut UUD
1945 adalah Sistem Presidentil. Sedangkan menurut Maklumat Pemerintah
meletakana pertanggungjawaban Kabinet kepada KNIP yang merupakan ciri dari
system Parlementer.
Setelah Indonesia
merdeka, ternyata Belanda masih merasa/ ingin berkuasa di RI, sehingga sering
terjadi konflik antara RI & Belanda, sehingga dilakukanlah beberapa kali
perudingan, perundingan terakhir adalah Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada
tanggal 23 Agustus 1949 yang menghasilkan kesepakatan antara lain :
1.
Mendirikan
Negara Indoneis serikat
2.
Penyerahan
kedaulatan kepada RIS
3.
Mendirikan UNI
antara RIS dengan kerajaan Belanda.
Atas dasar KMB maka
pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negra RIS dengan Konstitusi RIS.
Pada tanggal 17 Agustus
1950 Indonesia resmi kebali menjadi Negara Kesatuan RI berdasarkan UUDS tahun
1950, yang pada dasarnya merupakan Konstitusi RIS yang sudah diubah. Walaupun
sudah kembali kepada bentuk Negara kesatuan, namun perbedaan antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain masih terasa, adanya ketidakpuasan, adanya
menyesal dan ada pula yang setuju yang pada akhirnya timbul pemberontakan
separatisme. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet
Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban Menteri). Sistem Kabinet Parlementer
pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan
sebagaimana mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum, sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara,
Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah
terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat/ Badan Konstituante berdasarkan pemilihan
umum tahun 1955. Tugas Badan Konstituante adalah menyusun UUD untuk
menggantikan UUDS 1950. Namun Badan kostituante gagal merumuskan/ menyusun UUD,
sehingga pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden,
yang menyatakan membubarkan Badan
Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara RI Mengingat
Proklamasi adalah semangat persatuan, kesatuan yang bulat mutlak dengan tiada
mengecualikan setiap golongan dan lapisan masyarakat Republik Indonesia. Hal
ini menjadi sejarah penting bagi bumi Nusantara Indonesia dalam kehidupan
setelah Proklamasi. Substansi yang terkandung dalam Proklamasi adalah semangat
dengan rela berjuang, berjuang dengan hakiki, tulus dan penuh idealisme dan
dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri hingga lahirlah
Kemerdekaan.
A.
Ketatanegaraan
Periode 1945-1949
Lama periode : 18 Agustus 1945 – 27 Desember
1949
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres :
a. Ir. Soekarno & Mohammad Hatta(18
Agustus 1945 - 19 Desember 1948)
b. Syafruddin Prawiranegara (ketua
PDRI)(19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
c. Ir. Soekarno & Mohammad Hatta(13
Juli 1949 27 - Desember 1949).
Periode
Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk
negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27
Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan
Indonesia antara lain sebagai berikut .
a) Pembukaan
UUD 1945 alinea 4, yang berbunyi:
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia ” Hal tersebut menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan
satu kesatuan wilayah Indonesia
b) Pasal
1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“
Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata
Kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk negara, sedangkan Republik
menunjukkan bentuk pemerintahan.
UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan
kekuasaan secara murni Seperti yang telah diajarkan Montesquieu dalam ajaran
Trias Politika.UUD 1945 lebih cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan (
Distribution of Power ). Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara lembaga yang
satu dengan yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan
tugas-tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang telah di
sebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan dalam negara di kelola oleh lima
lembaga, yaitu :
a. Legislatif,
yang dilakukan oleh DPR.
b. Eksekutif,
yang di jalankan oleh presiden.
c. Konsultatif,
yang dijalankan oleh DPA.
d. Eksaminatif
(mengevaluasi ), kekuasaan inspektif ( mengontrol ), dan kekuasaan auditatif (memeriksa ), yang di jalankan oleh BPK.
e. Yudikatif,
yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD
1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya lembaga-lembaga
negara seperti yang di kehendaki UUD 1945. Seperti kita ketahui, pada kurun
waktu itu Indonesia hanya ada presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri,
serta KNIP. Oleh karena itu, sejak
tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu
presiden dibantu oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan.
Kekuasaan presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan
UUD 1945
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 oktober 1945,
terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan
lainnya masih tetap di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November. Dengan
keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, kekuasaan eksekutif
yang sebelumnya dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri
sebagai konsekuensi dari dibentuknya
sistem pemerintahan parlementer.
B. Ketatanegaraan Periode 1949-1950
Lama periode : 27 Desember 1949 – 15 Agustus
1950
Bentuk Negara : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer Semu (Quasi Parlementer)
Konstitusi : Konstitusi RIS
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno = presiden RIS (27 Desember
1949 - 15 Agustus 1950)
Pada tanggal 23 Agustus
sampai dengan 2 september 1949 dikota Den Hagg (Netherland) diadakan konferensi
Meja Bundar (KMB). Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, Delegasi BFO
(Bijeenkomst voor Federale Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie dan
delegasi Belanda dipimpin olah Van Harseveen. Adapun tujuan diadakannya KMB
tersebut itu ialah untuk meyelesaikan persengketaan Indonesia dan Belanda
selekas-lekasnya dengan cara yang adil dan pengakuan kedaulatan yang nyata,
penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Salah satu keputusan
pokok KMB ialah bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya
tanpa syarat dam tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada
tanggal 30 Desember 1949. Demikianlah pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu
Juliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan RIS di Amesterdam. Bila kita
tinjau isinya konstitusi itu jauh menyimpang dari cita-cita Indonesia yang
berideologi pancasila dan ber UUD 1945 karena :
1.
Konstitusi RIS
menentukan bentuk negara serikat (federalisme) yang terbagi dalam 16 negara
bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 buah satuan kenegaraan (pasal 1 dan 2,
Konstitusi RIS).
2.
Konstitusi RIS
menentukan suatu bentuk negara yang leberalistis atau pemerintahan berdasarkan
demokrasi parlementer, dimana menteri-menterinya bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah kepada parlemen (pasal 118, ayat 2 Konstitusi RIS)
3.
Mukadimah
Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa atau semangat pembukaan UUD
proklamasi sebagai penjelasan resmi proklamasi kemerdekaan negara Indonesia
(Pembukaan UUD 1945 merupakan Decleration of independence bangsa Indonesia,
kata tap MPR no. XX/MPRS/1996).Termasuk pula dalam pemyimpangan mukadimah ini
adalah perubahan kata- kata dari kelima sila pancasila. Inilah yang kemudian
yang membuka jalan bagi penafsiran pancasila secara bebas dan sesuka hati
hingga menjadi sumber segala penyelewengan didalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia.
Periode Konstitusi
Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Menurut ketentuan pasal-pasal yang
tertuang di dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
pemerintahan parlementer. Pada sistem
ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan
apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka
dapat menyebabkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada
DPR.
Sistem pemerintahan parlementer
mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.
a. Perdana
menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri
bertangggung jawab kepada parlemen.
b. Pembentukan
kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c. Para
anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada
dalam parlemen.
d. Kabinet
dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan
saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya
pemilihan umum.
e. Lamanya
masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f. Kedudukan
kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas
jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem
pemerintahan presidensial dengan parlementer
adalah sebagai berikut:
a. Sistem
pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara adalah seorang presiden, sedangkan dalam
pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara bisa presiden, raja, atau
kaisar.
b. Sistem
pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah
pengawasan parlemen,namun dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah
tidak bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer
di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945
yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden
kepada menteri atau menteri-menteri . setiap undang-undang yang dikeluarkan
harus terdapat tanda tangan menteri
(contra seign ministry ). Dengan demikian, presiden tidak dapat di
ganggu- gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang adalah para menteri, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan
Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan bahwa Konstitusi RIS 1949,
dipengaruhi oleh Montesquieu, namun
tidak menganut teori tersebut secara murni. Konstitusi RIS 1949 menganut
Pembagian Kekuasaan, sedangkan Montesquieu menganjurkan Pemisahan kekuasaan.
Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga kekuasaan/lembaga,
tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga negara
sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai berikut.
a. Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Senat.
d. Dewan
Perwakilan Rakyat.
e. Mahkamah
Agung Indonesia
f. Dewan
Pengawas keuangan.
Diantara badan-badan ( kekuasaan )
tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang
dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.
a. Kekuasaan
pembentukan perundang-undangan ( legislatif ) yang di jalankan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan senat .
b. Kekuasaan
melasanakan perundang-undangan atau
pemerintahan negara (eksekutif ) yang dilakukan oleh pemerintah.
c. Kekuasaan
mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif oleh Mahkamah Agung ).
Didalam konstitusi RIS 1949
dikatakan bahwa kekuasaan pembentukan perundang-undangan federal
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap
undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara
pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya
di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Oleh
karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus
disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal
pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga
ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi
undang-undang tersebut. Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan senat dalam melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian
pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar
memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini antara
pemerintahan dan DPR dan senat terdapat
hubungan yang bersifat kerja sama.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan
atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung
sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan pengawasan
tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan
negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat
kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan. Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik
tidak sesuai dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila,
dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu,muncullah berbagai reaksi dan
unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan kembali
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas desakan itu maka tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan
Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara
perubahan susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut hampir
semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia yang
berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian,
yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera
Timur. Keadaan itu mendorong negara RIS
berunding dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai
kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara
Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan
unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara
Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno
terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak
saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
C. Ketatanegaraan Periode 1950-1959
Lama periode : 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer
Konstitusi : UUDS 1950
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
UUDS 1950 adalah
konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950
hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal
14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena
hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan
umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih
Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi
baru hingga berlarut-larut.
Dekrit Presiden 1959
dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10
November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan
UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk
kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden
Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April
1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959
Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD
1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak
tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi
kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari
pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam
kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari
upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul
17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi
di Istana Merdeka.
Isi dekrit presiden 5
Juli 1959 antara lain :
1.
Kembali
berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.
Pembubaran
Konstituante
3.
Pembentukan MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Perwakilan Agung
Sementara).
Periode UUDS 1950
Bentuk negara kesatuan merupakan
kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam UU No. 7 Tahun 1950.
Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4 disebutkan : “Maka demi
ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk
Republik Kesatuan...”
Bentuk negara yang dianut Negara
Indonesia pada masa berlakunya bentuk UUDS 1950 adalah negara kesatuan. Hal
tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, “Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan”. Sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer.
Dengan demikian, sistem pemerintahan yang digunakan pada masa Konstitusi RIS
1949 masih dipertahankan oleh UUDS 1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur
sistem pemerintahan parlementer, dapat dilihat Dalam pasal 45 disebutkan “Presiden
ialah Kepala Negara”. karena presiden sebagai kepala negara, ia tidak dapat
diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan pemerintahan. Pernyataan pasal 45
tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 83 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
1. Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat;
2. Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa
yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah adalah
menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut harus bertanggung jawab atas
kebijakannya kepada parlementer DPR. ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS
1950 menganut sistem pemerintahan parlementer adalah pasal 84, yang berbunyi :
“Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Keputusan presiden yang
menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR
baru dalam 30 hari. Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya
kabinet sehingga pemerintahan tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh
hal-hal berikut.
a. Adanya
sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak
partai).
b. Perjuangan
partai-partai politik hanya untuk berkepentingan golongan atau partainya.
c. Pelaksanaan
sistem demokrasi yang tidak sehat.
Oleh sebab itu, di dalam UUD RIS maupun
UUD 1950 menggunakan Pancasila sebagai dasar negara hanya dalam ketentuan
formal, sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara
operasional. pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara
dipegang oleh beberapa alat perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan
dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada satu badan atau lembaga.
Berdasarkan Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan
negara adalah sebagai berikut :
a. Presiden
dan Wakil Presiden;
b. Menteri-menteri;
c. Dewan
Perwakilan Rakyat;
d. Mahkamah
Agung;
e. Dewan
Pengawas Keuangan.
Sebagaimana undang-undang dasar
sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini
terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan
tersebut.
a. Kekuasaan
pemerintah negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan menteri.
b. Kekuasaan
perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR.
c. Kekuasaan
kehakiman (yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sesuai dengan sistem parlementer yang
dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif) dilaksanakan
sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggung
jawabkan oleh dewan menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus memperhatikan
kebijaksanaan presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang penting
atau menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara kolektif maupun
sendiri-sendiri berkewajiban memberitahukan kepada presiden.
Kekuasaan perundang-undangan
(legislatif) dilaksanakan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat,
kecuali dalam perubahan undang-undang dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. selama masa berlakunya
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan oleh DPR
sebanyak delapan kali. Dengan demikian, pemerintah (presiden dan
menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang legislatif karena setiap
undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah. pengesahan
pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-undang oleh presiden dan
menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan
bahwa antara pemerintah dan DPR terdapat hubungan yang bersifat kerja sama. bidang
yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1
dan 2 UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang
bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan
lain, berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di
samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat kepada presiden berkenaan
dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di
praktikkan pada masa berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi
Terpimpin. UUDS 1950 juga menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal
ini dapat diketahui dari pasal 83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan sebagai
berikut.
Ayat 1. Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Ayat
2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah,
baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri.
Kemudian pasal 84 UUDS 1950, menyatakan
bahwa : “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, dengan ketentuan
harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.
UUDS
1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa,
“Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang
Dasar Sementara ini”.
Badan Konstituate yang diserahi tugas
membuat undang-undang dasar baru tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik. Keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang membawa
akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Situasi gawat itu mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan
didepan sidang pleno DPR hasil Pemilu tahun 1955. Perdebatan terus
berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting, sementara keadaan
negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa negara Indonesia. Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan
wewenangnya, yakni dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
yang berisi :
a. Pembubaran
Badan Konstituante;
b. Memberlakukan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c. Pembentukan
MPR dan DPA sementara.
C.
PADA
MASA ORDE LAMA
Sistem Pemerintahan Periode 1959-1965
(Orde Lama)
Lama periode : 5 Juli 1959 – 22 Februari 1966
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : RepublikSistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
Periode Berlakunya
Kembali UUD 1945
Sebagaimana dibentuknya
sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang Undang
Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun sampai
akhir tahun 1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang Dasar
yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli
1959. Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli
1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak
1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan
mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan
DPRS. Sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan
presidensil.
Dekrit Presiden 5 Juli
1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD
1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Pada periode ini
keadaan Ekonomi Mengalami Krisis, terjadi kegagalan produksi hampir di semua
sektor. Pada tahun 1965 inflasi mencapai 65 %, kenaikan harga-harga antara
200-300 %. Hal ini disebabkan oleh :
a.
Penanganan dan
penyelesaian masalah ekonomi yang tidak rasional, lebih bersifat politis dan
tidak terkontro.
b.
Adanya proyek
merealisasikan dan kontroversi.
Ciri periode ini ialah
dominasi dari presiden,terbatasnya peranan partai politik, berkembang pengaruh
komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial –politik. Dekrit
presiden 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar
dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat . undang
undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan
sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang
mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan
pembatasan waktu lima tahun ini (Undang- Undang dasar memungkinkan seorang
presiden untuk dipilih kembali) yang di tentukan oleh Undang-Undang Dasar.
Selain itu, banyak lagi tindakan menyimpang dari atau menyelewng terhadap
ketentuan –ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 ,
Ir.Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara ekspilisit
ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat
pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pemabntu pemerintah ,sedangkan
fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan
menteri dan dengan demikian ditekankan fungi mereka sebagai pembantu presiden,
di samping fungsi sebagai wakil rakyat.
Hal terakhir ini
mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika . dalam rengka ini
harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada
presiden sebgai badan eksekutif untuk
mencampur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif . misalnya
presidendiberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan
peraturan presiden No.19/1964, dan dibidang legislatif berdasarkan peraturan
presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai
mufakat.
Selain itu terjadi
penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah
dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres) yang memakai Dekrit 5 juli
sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional
seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis Internasional
yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah
terbentuknya demokrasi rakyat . Partai politik dan pers yang dianggap
menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan ,dan dibreidel,
sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam
negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI
telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa
demokrasi Pancasila
Dalam UUD 1945 dikatakan,
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka dapat diartikan sebagai keinginan luhur
sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri berkaitan dengan “keadilan” yang
menjadi objek utama untuk penegakan hukum di Indonesia banyak mendapat
tantangan seperti dari sistem poltik, kebijakan, bahkan kepentingan. Pembukaan
UUD 1945 di dalamnya memuat semangat Proklamasi dan Pancasila. Namun dalam
praktek ketatanegaraan RI, keberadaan dan kedudukan hukum naskah Proklamasi
belum mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula
menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat sementara. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 134 yang berbunyi : “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang
Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”.mengingat UUDS 1950 masih bersifat
sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang akan ditetapkan oleh Konstituate
bersama-sama dengan pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan
anggota-anggota Konstituate harus diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan
Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante dibuka di
Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk kali
pertama memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap
Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru
diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang baik. Lebih
dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD
baru. Ketika, itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam
gedung Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung
Konstituante, sehingga diperkirakan akan menimbulkan ketegangan politik dan
fisik di kalangan masyarakat.
Perdebatan-perdebatan dikalangan anggota
Konstituate tentang dasar negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan
itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno
DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Perdana
Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus
dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara
Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin
“memanas”, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada
Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi Terpimpin,
yaitu sebagai berikut.
1. Demokrasi
Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda
pula dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.
2. Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
3. Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang
meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
4. Inti
dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang “dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri
dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”.
5. Oposisi
dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam
alam Demokrasi Terpimpin.
6. Demokrasi
Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.
7. Tujuan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil
dan makmur, yang penuh dengan
kebahagiaan materil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17
Agustus 1945.
8. Sebagai
alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara,
tetapi dalam batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali
kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima
oleh para anggota Konstituate, namun
dengan pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD
1945 secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan
amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam
Piagam Jakarta. Adapun prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut :
1. Setelah
terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta
supaya diadakan sidang pleno Konstituante.
2. Atas
nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi “anjuran”
supaya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ditetapkan.
3.
Jika anjuran itu diterima oleh
Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara
1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu dengan
keluhuran.
Pengumuman
dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditanda tangani dalam
suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh presiden, para menteri, dan
para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha,
Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut.
Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk
undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang
melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan mengumumkan.Langkah
yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk intervensi
kewenangan dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden
mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali
kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Dengan Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan
mengingat lembaga-lembaga negara belum lengkap maka dilakukan beberapa langkah
sebagai berikut.
1. Pembaruan
susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.
2. Penyusunan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4
Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal
pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden.
3. Untuk
melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
4. Penyusunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun
1960.
5. Dikeluarkan
Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau dari aspek konstitusional,
langkah-langkah penyusunan DPRGR dan MPRS yang dilakukan dengan Penetapan
Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit
Presiden. Apalagi langkah seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran
Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7
Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum
(perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan Presiden sama sekali tidak
dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam rangka
melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru merupakan
langkah-langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan
langkah-langkah ini presiden melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD
1945, juga masih belum dapat dikategorikan bersifat konstitusional, sebab Dewan
Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali
UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Banyak
penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
1. Lembaga-lembaga
negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang.
Lembaga-lembaga negara ini masih bersifat sementara
2. Pengangkatan
presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963.
Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegasnya
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa
penyimpangan-penyimpangan konstitutional ini mencapai puncaknya dibidang
politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi
perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September
1965 masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku
sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak
dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari
masing-masing versi tersebut, yang jelas peristiwa 30 September 1965 telah
menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta
meninggalkan “sejarah hitam” dalam peta
politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa seperti ini
adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan
negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat perintah 11
maret 1966 (Supesemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dan presiden
kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin
keamanan dan ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan
supersemar itu sendiri sampai sekarang masih misterius. Bahkan, penerbitan
surat perintah seperti ini juga masih memunculkan berbagai kontroversi.
Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966
dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum
yang akan datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya
akan diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda sampai 5 Juli 1971 dan mengingat
telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi terciptanya
kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi
dan hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang
pengangkatan pengemban ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No.
IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik Indonesia, yang antara lain menyatakan :
“Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik Indonesia sampai terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum”
D. MASA ORDE
BARU
Timbulnya
peristiwa gerakan PKI disebabkan adanya persaingan antara PKI dan TNI AD namun
berhasil ditumpas dan akibatnya timbulah kekacauan, Presiden Soekarno belum
bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidak sabaran di
kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai
kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan
demonstrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi
ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan
Tritura yang isinya:
1.
pembubaran PKI,
2.
Pelaksanaan
kembali secara murni dan konsekuen UUD RI 1945
3.
penurunan harga.
Menghadapi aksi
mahasiswa, Presiden Soekarno menyerukan pembentukan Barisan Soekarno kepada
para pendukungnya. Pada tanggal 23 Februari 1966 kembali terjadi demonstrasi.
Dalam demonsrasi tersebut, gugur seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman
Hakim. yang dijadikan Pahlawan Ampera. Ketika terjadi demonsrasi, presiden
merombak kabinet Dwikora menjadi kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Oleh
mahasiswa susunan kabinet yang baru ditentang karena banyak pendukung G 30
S/PKI yang duduk dalam kabinet, sehingga mahasiswa memberi nama kabinet Gestapu.
Saat berpidato di depan
sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, presiden diberitahu oleh Brigjen Subur.
Isinya bahwa di luar istana terdapat pasukan tak dikenal. Presiden Soekarno
merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Presiden bersama Dr. Soebandrio
dan Dr. Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Tiga perwira tinggi TNI AD yaitu
Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud menyusul
presiden ke Istana Bogor. Tujuannya agar Presiden Soekarno tidak merasa
terpencil. Selain itu supaya yakin bahwa TNI AD bersedia mengatasi keadaan asal
diberi kepercayaan penuh. Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen
Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan
ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak
terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler
diktatur militer itu sampai Maret 1967. surat perintah ini kemudian dikenal
dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau SUPERSEMAR Keluarnya Supersemar
dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Supersemar pada intinya berisi
perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu
untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. Selain itu
untuk menjamin keselamatan presiden. Bagi bangsa Indonesia Supersemar memiliki
arti penting berikut.
1.
Menjadi tonggak
lahirnya Orde Baru.
2.
Dengan
Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin
3.
kestabilan
jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia.
4.
Lahirnya
Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan
5.
UUD 1945.
Adapun isi dari surat perintah 11 Maret
tersebut ialah:
1.
Mengambil semua
tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta
kestabilan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
pimpinan Presiden/Panglima Tinggi/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi
untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan
pasti segala ajaran Pimpinan Besar Revolusi.
2.
Mengadakan
koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan Panglima-panglima Angkatan-angkatan
lain dengan sebaik-baiknya.
3.
Supaya
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggungjawabnya
seperti tersebut di atas.
Sebagai pengemban dan
pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah
strategis berikut.
1.
Pada tanggal 12
Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan
2.
membubarkan PKI
termasuk ormas-ormasnya.
3.
Pada tanggal 18
Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam
4.
G 30 S/PKI.
5.
Membersihkan
MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh
6.
PKI dan
unsur-unsur komunis.
Dan agar tidak terjadi
masalah Dalam melaksanakan langkah-langkah politiknya, Letjen Soeharto
berlandaskan pada Supersemar., maka Supersemar perlu diberi landasan hukum.
Oleh karena itu pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum. Berikut
ini ketetapan MPRS hasil sidang umum tersebut. :
1.
Ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966, tentang Pengesahan dan Pengukuhan
2.
Supersemar.
3.
Ketetapan MPRS
No. XI/MPRS/1966, tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan
4.
selambat-lambatnya
tanggal 5 Juli 1968.
5.
Ketetapan MPRS
No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali Landasan
6.
Kebijaksanaan
Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
7.
Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966, tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
8.
Ketetapan MPRS
No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis
9.
Indonesia (PKI),
dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah
10. Indonesia.
E. PADA ERA
REFORMASI
Masa Reformasi (21 Mei
1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintahan masih tetap berlandaskan
Undang Undang Dasar 1945, yakni menganut sistem pemerintahan presidensial.
Namun, dalam pelaksanaannya dijalankan secara kristis (reformis), artinya
peraturan perundangan yang tidak berjiwa reformis diubah atau diganti. Sistem
Presidensial ini lebih dipertegas di dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan. Selain itu, dianut pula sistem
pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and
balances.
Setelah Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era
reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pembenahan sistem hukum yang termasuk agenda penting reformasi.
Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap
UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di segala bidang. Kemudian setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur bidang baru maupun
perubahan/penggantian peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
Pada era reformasi
diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak tiga kali,
yaitu :
Menurut TAP MPR III Tahun 2000 :
1.
UUD 1945
2.
TAP MPR
3.
UU
4.
PERPU
5.
PP
6.
Keputusan
Presiden
7.
Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 :
1.
UUD 1945
2.
UU/PERPU
3.
Peraturan
Pemerintah
4.
Peraturan
Presiden
5.
Peraturan Daerah
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 :
1.
UUD 1945
2.
TAP MPR
3.
UU/Perpu
4.
PP
5.
Peraturan
Presiden
6.
Perda Provinsi
7.
Perda
Kabupaten/Kota
Tertuang di
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process
of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1
UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pembentukan MK
merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia
sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan
dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu,
pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah
ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan
ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan
menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C
ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya
keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan
yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang
maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK.
Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi
(the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir
konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat
kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu
mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan
konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk
undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban
yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai
penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan
dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum
tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain
menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah
Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar
keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau
setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan
konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan
pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada
penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam
putusan-putusannya.
Dengan demikian, media
utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter
of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan kewenangan
dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat
dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya
mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya
dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami
pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya memberikan penafsiran
terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan permohonan tertentu.
Putusan Mahkamah
Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan
penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang,
dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan
oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah
Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut
telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu
masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga
perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga
negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini
isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas
dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.
Mengingat UUD 1945
tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan
sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di
bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa
putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan,
UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari
putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU
Sisdiknas.
DAFTAR
PUSTAKA
(http://alisafaat.wordpress.com/2009/02/06/perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-penerapannya-di-indonesia).
04 maret 2015
(http://galuhmunita.blogspot.com/2013/04/sejarah-ketatanegaraan-indonesia.)
04 maret 2015
file:///c:/users/ilham/documents/materi%20%20sejarah%20ketatanegaraan%20indonesia.html
(http://jakartapedia.net/index.php?title=Sejarah_perkembangan_ketatanegaraan.) 4 maret 2015
(http://aliridho23.blogspot.com/2012/01/sejarah-ketatanegaraan-negara.)04
maret 2015
file:///c:/users/ilham/documents/belajar,%20belajar%20dan%20belajar%20%20sejarah%20ketatanegaraan%20republik%20indonesia.html
0 komentar:
Posting Komentar