Jumat, 10 Juli 2015

DINAMIKA KELEMBAGAAN NEGARA DI INDONESIA



TUGAS : HUKUM  TATA  NEGARA

SEJARAH KETATANEGARAAN  INDONESIA

 
                                   DI SUSUN OLEH :

NAMA                       : ILHAM KASWANTO
KELAS                      : B
STAMBUK               : H1A114103

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015


A.    MASA SEBELUM PROKLAMASI
1.      Masa Penjajahan Belanda
Masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia terjadi selama kurang lebih 3,5 abad. Secara langsung ketika ada suatu negara yang menjajah negara lain, sudah pasti negara jajahan akan dipaksa untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh penjajah, baik berupa hukum yang mengatur kehidupan individu dengan  individu, individu dengan pemerintah dan termasuk hukum yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan kenegaraan.
Pada masa ini Indonesia disebut dengan nama Hindia Belanda yang dikonstruksikan sebagai bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana Pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen.Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda pada masa itu adalah sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah :
a) Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938
1.      Pasal 1    : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
2.      Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
3.      Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
b)Indische Staatsregeling ( IS )
Pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur
tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda).
Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah .
1.      WET, adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia bisa disebut Undang-Undang.
2.      AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur), adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di Indonesia bisa disebut Peraturan Pemerintah (PP).
3.      Ordonantie, Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (dewan rakyat Hindia Belanda). Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah (perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
4.      RV (Regering Verardening), adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan Gubernur.
Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat. Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu terlihat mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :
a)      Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat).
b)      Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (mahkamah agung)
c)      Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan. Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat juga ada. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu .
Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain wilayah Nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman dahulu. Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan Belanda.
2.         Masa Penjajahan Jepang
Lepas dari kandang macan lalu masuk kandang singa. Maksudnya, setelah lepas dari masa penjajahan Belanda, Negara Indonesia  ini tak bisa langsung menikmati kemerdekaan. Indonesia masuk dalam genggaman Jepang yang dalam penjajahannya selama 3,5 tahun, walaupun terhitung sebentar yang jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Namun dalam masa yang relatif sebentar itu, aturan-aturan yang pernah ada semasa dahulu masih diterapkan dan tidak dibuang begitu saja. Hal itu dikarenakan pengaruhnya yang juga kuat dan sampai saat ini pun Indonesia banyak mengambil/mengadopsi aturan-aturan pada masa Belanda ataupun Jepang.
Sejarah pada masa penjajahan Jepang ini ada karena adanya Perang Asia Timur Raya atau yang biasa dikenal dengan sebutan Perang Dunia Ke II. Pada masa itu terdapat kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang, tidak terkecuali negara Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Dalam sejarah Perang Dunia ke-II, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah
a.Sebagai penguasa pendudukan
Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan ketatanegaraan/hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
b.Menjanjikan kemerdekaan bangsa Indonesia
Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya termasuk Indonesia dengan menyebut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
c. Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atas dalam kondisi status quo.
Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
1.      Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
2.      Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
3.      Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi kalau sistem ketatanegaraan yang diberlakukan adalah bersifat Talistik. Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No 40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.
Dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia maka dibentuk BPUPKI, yang telah berhasil membuat Rancangan Dasar Negara pada tanggal 25 Mei s.d. 1 Juni 1945 dan Rancangan UU Dasar pada tanggal 10 Juli s.d. 17 Juli 1945. Pada tanggal 11 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan dibentuk PPKI yang melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI dan berhasil membuat UUD 1945 yang mulai diberlakukan tanggal 18 Agustus 1945.

B.      MASA SETELAH PROKLAMASI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka hal-hal yang dilakukan adalah :
1.      Menetapkan UUD Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
2.      Menetapkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
3.      Pembentukan Departemen-Departemen oleh Presiden.
4.      Pengangkatan anggota Komite Nasional Indonesi Pusat (KNIP) oleh Presiden
Sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Sistem Pemerintahan Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial), yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan adalah Presiden. Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden adalah Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi "perubahan praktik ketatanegaraan" Republik Indonesia tanpa mengubah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut ialah dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tersebut terjadi perubahan dari sistem pemerintahan Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial) menjadi sistem pemerintahan Parlementer (Sistem Kabinet Parlementer). Sehingga dengan Maklumat-maklumat tersebut menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan pemerintahan mengenai system pemerintahan dimana menurut Pasal 4 UUD 45 ditegaskan bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 17 menetapka bahwa “ Menteri Negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, system pemerintahan menurut UUD 1945 adalah Sistem Presidentil. Sedangkan menurut Maklumat Pemerintah meletakana pertanggungjawaban Kabinet kepada KNIP yang merupakan ciri dari system Parlementer.
Setelah Indonesia merdeka, ternyata Belanda masih merasa/ ingin berkuasa di RI, sehingga sering terjadi konflik antara RI & Belanda, sehingga dilakukanlah beberapa kali perudingan, perundingan terakhir adalah Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949 yang menghasilkan kesepakatan  antara lain :
1.      Mendirikan Negara Indoneis serikat
2.      Penyerahan kedaulatan kepada RIS
3.      Mendirikan UNI antara RIS dengan kerajaan Belanda.
Atas dasar KMB maka pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negra RIS dengan Konstitusi RIS.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kebali menjadi Negara Kesatuan RI berdasarkan UUDS tahun 1950, yang pada dasarnya merupakan Konstitusi RIS yang sudah diubah. Walaupun sudah kembali kepada bentuk Negara kesatuan, namun perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa, adanya ketidakpuasan, adanya menyesal dan ada pula yang setuju yang pada akhirnya timbul pemberontakan separatisme. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban Menteri). Sistem Kabinet Parlementer pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat/ Badan Konstituante berdasarkan pemilihan umum tahun 1955. Tugas Badan Konstituante adalah menyusun UUD untuk menggantikan UUDS 1950. Namun Badan kostituante gagal merumuskan/ menyusun UUD, sehingga pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang  menyatakan membubarkan Badan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara RI Mengingat Proklamasi adalah semangat persatuan, kesatuan yang bulat mutlak dengan tiada mengecualikan setiap golongan dan lapisan masyarakat Republik Indonesia. Hal ini menjadi sejarah penting bagi bumi Nusantara Indonesia dalam kehidupan setelah Proklamasi. Substansi yang terkandung dalam Proklamasi adalah semangat dengan rela berjuang, berjuang dengan hakiki, tulus dan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri hingga lahirlah Kemerdekaan.
A.  Ketatanegaraan  Periode 1945-1949
Lama periode              : 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Bentuk Negara            : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan   : Presidensial
Konstitusi                    : UUD 1945
Presiden & Wapres     :
a.         Ir. Soekarno & Mohammad Hatta(18 Agustus 1945 - 19 Desember 1948)
b.         Syafruddin Prawiranegara (ketua PDRI)(19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
c.         Ir. Soekarno & Mohammad Hatta(13 Juli 1949 27 - Desember 1949).
Periode Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan Indonesia antara lain sebagai berikut .
a)      Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang berbunyi:
“melindungi  segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ” Hal tersebut menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia
b)      Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“ Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata Kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk negara, sedangkan Republik menunjukkan bentuk pemerintahan.
UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni Seperti yang telah diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika.UUD 1945 lebih cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan ( Distribution of Power ). Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan tugas-tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan dalam negara di kelola oleh lima lembaga, yaitu :
a.       Legislatif, yang dilakukan oleh DPR.
b.      Eksekutif, yang di jalankan oleh presiden.
c.       Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA.
d.      Eksaminatif (mengevaluasi ), kekuasaan inspektif ( mengontrol ), dan kekuasaan auditatif   (memeriksa ), yang di jalankan oleh BPK.
e.       Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945. Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia hanya ada presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri, serta KNIP. Oleh karena itu,  sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X  tanggal 16 oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif  dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, kekuasaan eksekutif yang sebelumnya dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri sebagai konsekuensi  dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.
B.  Ketatanegaraan  Periode 1949-1950
Lama periode              : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Bentuk Negara            : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan   : Parlementer Semu (Quasi Parlementer)
Konstitusi                    : Konstitusi RIS
Presiden & Wapres     : Ir.Soekarno = presiden RIS (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950)
Pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 september 1949 dikota Den Hagg (Netherland) diadakan konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, Delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie dan delegasi Belanda dipimpin olah Van Harseveen. Adapun tujuan diadakannya KMB tersebut itu ialah untuk meyelesaikan persengketaan Indonesia dan Belanda selekas-lekasnya dengan cara yang adil dan pengakuan kedaulatan yang nyata, penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Salah satu keputusan pokok KMB ialah bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dam tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. Demikianlah pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan RIS di Amesterdam. Bila kita tinjau isinya konstitusi itu jauh menyimpang dari cita-cita Indonesia yang berideologi pancasila dan ber UUD 1945 karena :
1.      Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalisme) yang terbagi dalam 16 negara bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 buah satuan kenegaraan (pasal 1 dan 2, Konstitusi RIS).
2.      Konstitusi RIS menentukan suatu bentuk negara yang leberalistis atau pemerintahan berdasarkan demokrasi parlementer, dimana menteri-menterinya bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada parlemen (pasal 118, ayat 2 Konstitusi RIS)
3.      Mukadimah Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa atau semangat pembukaan UUD proklamasi sebagai penjelasan resmi proklamasi kemerdekaan negara Indonesia (Pembukaan UUD 1945 merupakan Decleration of independence bangsa Indonesia, kata tap MPR no. XX/MPRS/1996).Termasuk pula dalam pemyimpangan mukadimah ini adalah perubahan kata- kata dari kelima sila pancasila. Inilah yang kemudian yang membuka jalan bagi penafsiran pancasila secara bebas dan sesuka hati hingga menjadi sumber segala penyelewengan didalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Menurut ketentuan pasal-pasal yang tertuang di dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan  parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyebabkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada DPR.
              Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.
a.       Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b.      Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c.       Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen.
d.      Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e.       Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f.       Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer  adalah sebagai berikut:
a.       Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara  adalah seorang presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara bisa presiden, raja, atau kaisar.
b.      Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan parlemen,namun dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-menteri . setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda tangan menteri  (contra seign ministry ). Dengan demikian, presiden tidak dapat di ganggu- gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang  adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan bahwa Konstitusi RIS 1949, dipengaruhi  oleh Montesquieu, namun tidak menganut teori tersebut secara murni. Konstitusi RIS 1949 menganut Pembagian Kekuasaan, sedangkan Montesquieu menganjurkan Pemisahan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga kekuasaan/lembaga, tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai berikut.
a.       Presiden.
b.      Menteri-menteri.
c.       Senat.
d.      Dewan Perwakilan Rakyat.
e.       Mahkamah Agung Indonesia
f.       Dewan Pengawas keuangan.
Diantara badan-badan ( kekuasaan ) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama  dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.
a.       Kekuasaan pembentukan perundang-undangan ( legislatif ) yang di jalankan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat .
b.      Kekuasaan melasanakan perundang-undangan  atau pemerintahan negara  (eksekutif )  yang dilakukan oleh pemerintah.
c.       Kekuasaan mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif  oleh Mahkamah Agung ).
Didalam konstitusi  RIS 1949  dikatakan bahwa kekuasaan pembentukan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Oleh karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi undang-undang tersebut. Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini antara pemerintahan dan DPR dan senat terdapat  hubungan yang bersifat kerja sama.
Mahkamah Agung  berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu,muncullah berbagai reaksi dan unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan  Republik Indonesia. Atas desakan itu maka tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut hampir semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Keadaan itu mendorong negara  RIS berunding dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.


C. Ketatanegaraan Periode 1950-1959
Lama periode              : 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Bentuk Negara            : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan   : Parlementer
Konstitusi                    : UUDS 1950
Presiden & Wapres     : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain :
1.      Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.      Pembubaran Konstituante
3.      Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Perwakilan Agung Sementara).

Periode UUDS 1950
Bentuk negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam UU No. 7 Tahun 1950. Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4 disebutkan : “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan...”
Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya bentuk UUDS 1950 adalah negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949 masih dipertahankan oleh UUDS 1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur sistem pemerintahan parlementer, dapat dilihat Dalam pasal 45 disebutkan “Presiden ialah Kepala Negara”. karena presiden sebagai kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan pemerintahan. Pernyataan pasal 45 tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 83 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
1.      Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat;
2.      Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut harus bertanggung jawab atas kebijakannya kepada parlementer DPR. ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer adalah pasal 84, yang berbunyi : “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR baru dalam 30 hari. Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga pemerintahan tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.
a.    Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak partai).
b.    Perjuangan partai-partai politik hanya untuk berkepentingan golongan atau partainya.
c.    Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat.
Oleh sebab itu, di dalam UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan Pancasila sebagai dasar negara hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara operasional. pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara dipegang oleh beberapa alat perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada satu badan atau lembaga.
Berdasarkan  Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai berikut :
a.    Presiden dan Wakil Presiden;
b.    Menteri-menteri;
c.    Dewan Perwakilan Rakyat;
d.   Mahkamah Agung;
e.    Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagaimana undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan tersebut.
a.    Kekuasaan pemerintah negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan menteri.
b.    Kekuasaan perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
c.    Kekuasaan kehakiman (yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif) dilaksanakan sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggung jawabkan oleh dewan menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus memperhatikan kebijaksanaan presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang penting atau menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri berkewajiban memberitahukan kepada presiden.
Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilaksanakan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali dalam perubahan undang-undang dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian, pemerintah (presiden dan menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang legislatif karena setiap undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah. pengesahan pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-undang oleh presiden dan menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa antara pemerintah dan DPR terdapat hubungan yang bersifat kerja sama. bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2 UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat kepada presiden berkenaan dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di praktikkan pada masa berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin. UUDS 1950 juga menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal ini dapat diketahui dari pasal 83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan sebagai berikut.
Ayat   1.   Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Ayat 2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Kemudian pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.
UUDS 1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa, “Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Badan Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang dasar baru tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat itu mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang pleno DPR hasil Pemilu tahun 1955. Perdebatan terus berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting, sementara keadaan negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara Indonesia. Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya, yakni dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang berisi :
a.    Pembubaran Badan Konstituante;
b.    Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c.    Pembentukan MPR dan DPA sementara.

C.       PADA MASA ORDE LAMA
Sistem Pemerintahan Periode 1959-1965 (Orde Lama)
Lama periode              : 5 Juli 1959 – 22 Februari 1966
Bentuk Negara            : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : RepublikSistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi                    : UUD 1945
Presiden & Wapres     : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
Periode Berlakunya Kembali UUD 1945
Sebagaimana dibentuknya sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun sampai akhir tahun 1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan DPRS. Sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
1.         Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.         Pembubaran Konstituante
3.         Pembentukan MPRS dan DPAS
Pada periode ini keadaan Ekonomi Mengalami Krisis, terjadi kegagalan produksi hampir di semua sektor. Pada tahun 1965 inflasi mencapai 65 %, kenaikan harga-harga antara 200-300 %. Hal ini disebabkan oleh :
a.       Penanganan dan penyelesaian masalah ekonomi yang tidak rasional, lebih bersifat politis dan tidak terkontro.
b.      Adanya proyek merealisasikan dan kontroversi.
Ciri periode ini ialah dominasi dari presiden,terbatasnya peranan partai politik, berkembang pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial –politik. Dekrit presiden 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat . undang undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang- Undang dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang di tentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan menyimpang dari atau menyelewng terhadap ketentuan –ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 , Ir.Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pemabntu pemerintah ,sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungi mereka sebagai pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat.
Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika . dalam rengka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebgai badan eksekutif  untuk mencampur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif . misalnya presidendiberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan peraturan presiden No.19/1964, dan dibidang legislatif berdasarkan peraturan presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres) yang memakai Dekrit 5 juli sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis Internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat . Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan ,dan dibreidel, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila
            Dalam UUD 1945 dikatakan, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka dapat diartikan sebagai keinginan luhur sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri berkaitan dengan “keadilan” yang menjadi objek utama untuk penegakan hukum di Indonesia banyak mendapat tantangan seperti dari sistem poltik, kebijakan, bahkan kepentingan. Pembukaan UUD 1945 di dalamnya memuat semangat Proklamasi dan Pancasila. Namun dalam praktek ketatanegaraan RI, keberadaan dan kedudukan hukum naskah Proklamasi belum mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”.mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang akan ditetapkan oleh Konstituate bersama-sama dengan pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituate harus diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante dibuka di Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk kali pertama memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang baik. Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru. Ketika, itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam gedung Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat.
Perdebatan-perdebatan dikalangan anggota Konstituate tentang dasar negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin “memanas”, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi Terpimpin, yaitu sebagai berikut.
1.    Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda pula dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.
2.    Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
3.    Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
4.    Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”.
5.    Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin.
6.    Demokrasi Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.
7.    Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh  dengan kebahagiaan materil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
8.    Sebagai alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat  diterima oleh para anggota  Konstituate, namun dengan pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945 secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut :
1.    Setelah terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta supaya diadakan sidang pleno Konstituante.
2.    Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi “anjuran” supaya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ditetapkan.
3.              Jika anjuran itu diterima oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu dengan keluhuran.
Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditanda tangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh presiden, para menteri, dan para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan mengumumkan.Langkah yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk intervensi kewenangan dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Dengan Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum lengkap maka dilakukan beberapa langkah sebagai berikut.
1.    Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.
2.    Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden.
3.    Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
4.    Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
5.    Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau dari aspek konstitusional, langkah-langkah penyusunan DPRGR dan MPRS yang dilakukan dengan Penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden. Apalagi langkah seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam rangka melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru merupakan langkah-langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan langkah-langkah ini presiden melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD 1945, juga masih belum dapat dikategorikan bersifat konstitusional, sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Banyak penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
1.    Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang. Lembaga-lembaga negara ini masih bersifat sementara
2.    Pengangkatan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegasnya menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyimpangan-penyimpangan konstitutional ini mencapai puncaknya dibidang politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September 1965 masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas peristiwa 30 September 1965 telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan  “sejarah hitam” dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa seperti ini adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966 (Supesemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dan presiden kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar itu sendiri sampai sekarang masih misterius. Bahkan, penerbitan surat perintah seperti ini juga masih memunculkan berbagai kontroversi. Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966 dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda sampai 5 Juli 1971 dan mengingat telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi terciptanya kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi dan hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang pengangkatan pengemban ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No. IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik Indonesia, yang antara lain menyatakan : “Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik Indonesia sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum”
D. MASA ORDE BARU
Timbulnya peristiwa gerakan PKI disebabkan adanya persaingan antara PKI dan TNI AD namun berhasil ditumpas dan akibatnya timbulah kekacauan, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidak sabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonstrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan Tritura yang isinya:
1.      pembubaran PKI,
2.      Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekuen UUD RI 1945
3.      penurunan harga.
Menghadapi aksi mahasiswa, Presiden Soekarno menyerukan pembentukan Barisan Soekarno kepada para pendukungnya. Pada tanggal 23 Februari 1966 kembali terjadi demonstrasi. Dalam demonsrasi tersebut, gugur seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim. yang dijadikan Pahlawan Ampera. Ketika terjadi demonsrasi, presiden merombak kabinet Dwikora menjadi kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Oleh mahasiswa susunan kabinet yang baru ditentang karena banyak pendukung G 30 S/PKI yang duduk dalam kabinet, sehingga mahasiswa memberi nama kabinet Gestapu.
Saat berpidato di depan sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, presiden diberitahu oleh Brigjen Subur. Isinya bahwa di luar istana terdapat pasukan tak dikenal. Presiden Soekarno merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Presiden bersama Dr. Soebandrio dan Dr. Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Tiga perwira tinggi TNI AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud menyusul presiden ke Istana Bogor. Tujuannya agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil. Selain itu supaya yakin bahwa TNI AD bersedia mengatasi keadaan asal diberi kepercayaan penuh. Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. surat perintah ini kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau SUPERSEMAR Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Supersemar pada intinya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. Selain itu untuk menjamin keselamatan presiden. Bagi bangsa Indonesia Supersemar memiliki arti penting berikut.
1.      Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru.
2.      Dengan Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin
3.      kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia.
4.      Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan
5.      UUD 1945.
Adapun isi dari surat perintah 11 Maret tersebut ialah:
1.      Mengambil semua tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/Panglima Tinggi/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pimpinan Besar Revolusi.
2.      Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan Panglima-panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3.      Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas.
Sebagai pengemban dan pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah strategis berikut.
1.      Pada tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan
2.      membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya.
3.      Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam
4.      G 30 S/PKI.
5.      Membersihkan MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh
6.      PKI dan unsur-unsur komunis.
Dan agar tidak terjadi masalah Dalam melaksanakan langkah-langkah politiknya, Letjen Soeharto berlandaskan pada Supersemar., maka Supersemar perlu diberi landasan hukum. Oleh karena itu pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum. Berikut ini ketetapan MPRS hasil sidang umum tersebut. :
1.      Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang Pengesahan dan Pengukuhan
2.      Supersemar.
3.      Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan
4.      selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
5.      Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali Landasan
6.      Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
7.      Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
8.      Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis
9.      Indonesia (PKI), dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah
10.  Indonesia.
E. PADA ERA REFORMASI
Masa Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintahan masih tetap berlandaskan Undang Undang Dasar 1945, yakni menganut sistem pemerintahan presidensial. Namun, dalam pelaksanaannya dijalankan secara kristis (reformis), artinya peraturan perundangan yang tidak berjiwa reformis diubah atau diganti. Sistem Presidensial ini lebih dipertegas di dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan. Selain itu, dianut pula sistem pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances.
Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem hukum yang termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di segala bidang. Kemudian setelah  itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
Pada era reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak tiga kali, yaitu :
Menurut TAP MPR III Tahun 2000 :
1.    UUD 1945
2.    TAP MPR
3.    UU
4.    PERPU
5.    PP
6.    Keputusan Presiden
7.    Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004 :
1.    UUD 1945
2.    UU/PERPU
3.    Peraturan Pemerintah
4.    Peraturan Presiden
5.    Peraturan Daerah

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 :
1.    UUD 1945
2.    TAP MPR
3.    UU/Perpu
4.    PP
5.    Peraturan Presiden
6.    Perda Provinsi
7.    Perda Kabupaten/Kota
Tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan permohonan tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.



                



DAFTAR PUSTAKA

(http://alisafaat.wordpress.com/2009/02/06/perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-penerapannya-di-indonesia). 04 maret 2015
(http://galuhmunita.blogspot.com/2013/04/sejarah-ketatanegaraan-indonesia.) 04 maret  2015
file:///c:/users/ilham/documents/materi%20%20sejarah%20ketatanegaraan%20indonesia.html
(http://jakartapedia.net/index.php?title=Sejarah_perkembangan_ketatanegaraan.)  4 maret  2015
(http://aliridho23.blogspot.com/2012/01/sejarah-ketatanegaraan-negara.)04 maret 2015
file:///c:/users/ilham/documents/belajar,%20belajar%20dan%20belajar%20%20sejarah%20ketatanegaraan%20republik%20indonesia.html









0 komentar: