Kamis, 06 November 2014

komponen sistem peradilan pidana

KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA

Terkait dengan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut, masing-masing ahli hukum pun memiliki pendapat yang berbeda terkait komponen yang dapat dibebankan sebagai institusi aparat penegak hukum, dalam ranah hukum pidana.
Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di dalamnya wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi (badan-badan) dikenal dengan:
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan.
Bahwa keempat instansi (badan) tersebut merupakan instansi yang masing-masing berdiri mandiri secara administratif. Dimana Kepolisian[50] sebagai organ pemerintah yang setingkat dengan Kementerian atau instansi non-Kementerian dibawah Presiden. Sedangkan Kejaksaan mempunyai puncak kekuasaan pada Kejaksaan Agung, dimana Kejaksaan Agung merupakan organ Pemerintah yang berada di bawah Presiden dan merupakan lembaga non-Kementerian. Dan Pengadilan masing-masing berdiri mandiri secara fungsional tetapi diarahkan oleh Mahkamah Agung. Serta Lembaga Pemasyarakatan yang berada dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM).
Sedangkan Romli Atmasasmita menegaskan bahwa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, serta Pembentuk Undang-Undang.
Demikian pula Barda Nawawi Arief, dalam menjelaskan Sistem Peradilan Pidana Terpatu (SPPT) dimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yakni kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana.Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan penyidikan dimiliki oleh Kepolisian, kekuasaan penuntutan dimiliki oleh Kejaksaan, dan kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana dimiliki oleh Pengadilan, namun Barda Nawawi Arief tidak menjelaskan lebih rinci berkaitan dengan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana. Apakah kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana dimiliki oleh Kejaksaan atau dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan? Karena Lembaga Pemasyarakatan, secara de jure dan de facto, tidak dapat disebut sebagai institusi yang memiliki kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Keseragaman komponen atau sub-sistem, pula diungkapkan oleh Indriyanto Seno Adji, yang membagi lembaga pelaksanaan menjadi 4 (empat) institusi, yaitu:
  1. Lembaga Kepolisian;
  2. Lembaga Kejaksaan;
  3. Lembaga Peradilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan.
Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad, bahwa dalam pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan.
Hal senada pula diungkapkan Jeremy Travis, bahwa Sistem Peradilan Pidana terdiri dari Polisi, Jaksa, dan pengadilan, dan penjara, namun pula ditambahkan dengan lembaga masyarakat.Sedikit ilustrasi yang berbeda diungkapkan oleh Larry J. Siegel dan Joseph J. Senna, dengan memuat lembaga-lembaga yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana dengan menyebutkan kewenangan dari lembaga-lembaga tersebut yaitu kewenangan dalam melakukan penangkapan, penuntutan dan pengawasan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 3 (tiga) unsur besar, yaitu:
  1. Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy adalah Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR, sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita.
Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu Negara menerapkan sistem hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu Negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang melakukan perancangan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.
Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan politik hukum Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem hukumnya.
Bahwa kemudian terjadi perdebatan secara akademis mengenai apakah perlu Indonesia mengadopsi KUHAP dari negara-negara lain ataukah cukup dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila dan hukum yang sudah lama hidup di dalam masyarakat (the living law),
Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian dari kebijakan legislatif hukum pidana (penal policy) menjadi salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum yang sangat penting untuk diperhatikan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip pendapat dari Montesquieu, bahwa pembentukan hukum dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang  kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketa/konflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya.
Dalam praktek pembentukan hukum di kenal beberapa karakter diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD yaitu:
  1. Proses pembentukan hukum partisifatit/responsif adalah pembentukan hukum yang memberikan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.Pembentukan hukum seperti ini dilakukan pada produk hukum yang responsif/populistik.
  2. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan hukum responsif, adalah produk hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara.
Sedangkan menurut CFG. Sunarjati Hartono, bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945.
  1. Unsur Sekunder (Sub-System)
Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”.
Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah:
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan.
Jika kita memperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan effesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu lembaga yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan 1 (satu) institusi partikelir, yaitu profesi Advokat.
Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli Atmasasmita, terkait dengan pandangannya bahwa pendekatan terhadap Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari sudut pandang ilmu sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana. Maka Penulis, hendak menegaskan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari sub-sistem dari Sistem Peradilan Pidana.
Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana adalah:
  1. Advokat/Penasehat Hukum
  2. Kepolisian;
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
  4. Kejaksaan;
  5. Pengadilan;
  6. Lembaga Pemasyarakatan; dan
  7. Masyarakat.
  8. Unsur Tertier (supporting system)
Di dalam supporting system ini, Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa kinerja dari sub-sistem tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain pun memiliki peranan yang cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
  1. Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non-Kementerian dan Pemerintah Daerah
  2. Lembaga extra-Structure (Ekstra Struktural)
Kedua jenis lembaga tersebut memiliki peranan yang cukup penting sebagai penopang dari unsur sub-sistem. Pemerintah Daerah, misalnya, memiliki peranan cukup penting dalam melakukan pendataan kependudukan di wilayah kewenangannya. Yang kemudian dapat digunakan oleh aparat penegak hukum untuk dapat dengan segera melakukan identifikasi individu, baik sebagai tersangka/pelaku tindak pidana maupun sebagai korban kejahatan.
Hanya saja cukup disayangkan pentingnya pendataan kependudukan, masih dianggap sebagai keperluan kepentingan administrasi kedaerahan semata. Data kependudukan yang dimiliki Pemerintah Daerah masih bersifat pasial, sehingga di dalam proses penegakan hukum, pemetaan kependudukan untuk memperoleh gambaran sejelas wilayah-wilayah yang masih rawan tingkat kejahatan, tidak terkonfigurasi dengan baik. Walaupun pihak apartur penegak hukum dapat meminta data-data tersebut, namun sifatnya adalah menunggu permintaan. Aparatur penegak hukum tidak dapat secara langsung mengakses data-data tersebut.
Hal ini perlu dipahami, bahwa proses bekerjanya aparatur penegak hukum dalam suatu Sistem Peradilan Pidana bukan saja sebagai penindak, namun juga sebagai pengendali tingkat kejahatan.
Demikian pula, posisi lembaga ekstra struktural di dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Perlindungan Saksi & Korban, misalnya, memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya di dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, terkait dengan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan perlindungan hukum kepada Saksi dan Korban, seringkali justru berbenturan dengan aparatur penegak hukum.
Masih jelas dalam ingatan Penulis, dalam perjalanan LPSK, pada kasus Susno Duadji. Dimana keputusan LPSK yang menempatkan Susno Duadji sebagai subyek hukum yang diletakan dalam perlindungan LPSK, mendapat pertentangan dari Kepolisian.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, maka telah tergambarkan tujuan dari penulisan ini. Bahwa Penulis berpendapat, hubungan secara horizontal dan vertikal pada organ pemerintah, dalam ranah Hukum Administrasi Negara, dan hubungan yang harmonis dalam pembagian kekuasaan kehakiman, dalam ranah Hukum Tata Negara di Indonesia, perlu dikaji ulang.
Kesinambungan kinerja antar lembaga, hendaknya dipandang dari keseragaman secara fungsional, dan bukan secara administratif. Sehingga, dalam kajian fungsional kelembagaan, Mahkamah Agung dapat melakukan pengawasan dan pengarahan, sehingga muncul keselarasan. Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif secara administratif dan fungsional, justru memunculkan kerancuan dalam menjalankan amanah undang-undang.
Walaupun memang di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab X mengatur tentang lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu:
  1. Penyelidikan dan Penyidikan;
  2. Penuntutan;
  3. Pelaksanaan Putusan;
  4. Pemberian jasa hukum; dan
  5. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah posisi dari seorang advokat/lawyer/penasehat hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana. Mengutip pendapat dari Deborah M. Hussey Freeland, bahwa:[66]
“Di dalam diskusi Sejarah Hukum dan Common Law terkait fungsi dari seorang pengacara, Saya menemukan hipotesis yang mendukung pentingnya posisi pengacara sebagai pejabat pengadilan (officer of court). Untuk menilai sejauh mana diskusi ini menunjukkan baik hanya aspiratif atau menyadari sepenuhnya untuk peran pengacara, saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan dari sangat langkanya upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara memanifestasikan, melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan: jika pengacara belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam administrasi keadilan, dia tidak akan menjadi pengacara, dan dia tidak akan hadir untuk mewakili kliennya sebagai pihak tindakan hukum. Tugas mewakili dari pengacara dijalankan untuk pengadilan dan kepada klien, dan yang terakhir tergantung dari mantan klien. Identitas profesional pengacara sebagai petugas pengadilan penting bagi pengacara pribadi yang mungkin terganggu dengan mengamati dirinya secara sempit sebagai advokat yang penuh semangat, dan penting juga untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi hukum.”
Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menjelaskan sebagai berikut:
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”

Dengan demikian, jelas sudah bahwa secara de jure, seorang Advokat adalah bagian dari sub-sistem. Walaupun secara de facto, seorang Advokat lebih sering berdiri pada posisi kepentingan klien.

page 3....

0 komentar: