KOMPONEN
SISTEM PERADILAN PIDANA
.jpg)
Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa untuk mencapai
tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di dalamnya
wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi (badan-badan) dikenal
dengan:
- Kepolisian;
- Kejaksaan;
- Pengadilan;
dan
- Lembaga
Pemasyarakatan.
Bahwa keempat instansi (badan) tersebut merupakan
instansi yang masing-masing berdiri mandiri secara administratif. Dimana
Kepolisian[50] sebagai organ pemerintah yang setingkat dengan Kementerian atau
instansi non-Kementerian dibawah Presiden. Sedangkan Kejaksaan mempunyai puncak
kekuasaan pada Kejaksaan Agung, dimana Kejaksaan Agung merupakan organ
Pemerintah yang berada di bawah Presiden dan merupakan lembaga non-Kementerian.
Dan Pengadilan masing-masing berdiri mandiri secara fungsional tetapi diarahkan
oleh Mahkamah Agung. Serta Lembaga Pemasyarakatan yang berada dibawah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM).
Sedangkan Romli Atmasasmita menegaskan bahwa
komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan
mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek
penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan, serta Pembentuk Undang-Undang.
Demikian pula Barda Nawawi Arief, dalam
menjelaskan Sistem Peradilan Pidana Terpatu (SPPT) dimplementasikan dalam 4
(empat) sub-sistem kekuasaan, yakni kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,
kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan
pidana.Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan penyidikan dimiliki oleh Kepolisian,
kekuasaan penuntutan dimiliki oleh Kejaksaan, dan kekuasaan
mengadili/menjatuhkan pidana dimiliki oleh Pengadilan, namun Barda Nawawi
Arief tidak menjelaskan lebih rinci berkaitan dengan kekuasaan
eksekusi/pelaksanaan pidana. Apakah kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana
dimiliki oleh Kejaksaan atau dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan? Karena
Lembaga Pemasyarakatan, secara de jure dan de facto, tidak dapat
disebut sebagai institusi yang memiliki kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.
Keseragaman komponen atau sub-sistem, pula diungkapkan
oleh Indriyanto Seno Adji, yang membagi lembaga pelaksanaan menjadi 4
(empat) institusi, yaitu:
- Lembaga
Kepolisian;
- Lembaga
Kejaksaan;
- Lembaga
Peradilan; dan
- Lembaga
Pemasyarakatan.
Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad,
bahwa dalam pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi
penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana
diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Pemasyarakatan.
Hal senada pula diungkapkan Jeremy Travis,
bahwa Sistem Peradilan Pidana terdiri dari Polisi, Jaksa, dan pengadilan, dan
penjara, namun pula ditambahkan dengan lembaga masyarakat.Sedikit
ilustrasi yang berbeda diungkapkan oleh Larry J. Siegel dan Joseph J.
Senna, dengan memuat lembaga-lembaga yang terlibat dalam Sistem Peradilan
Pidana dengan menyebutkan kewenangan dari lembaga-lembaga tersebut yaitu
kewenangan dalam melakukan penangkapan, penuntutan dan pengawasan terhadap
mereka yang dituduh melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 3 (tiga) unsur
besar, yaitu:
- Unsur
Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy
adalah Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR, sebagaimana
diungkapkan oleh Romli Atmasasmita.
Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan
bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana
suatu Negara menerapkan sistem hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu
Negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang melakukan perancangan
peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan
suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara
tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum
suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas
dari sistem hukum Negara tersebut.
Oleh karena itu, pembentukan peraturan
perundang-undangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung
bagaimana Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan politik hukum Indonesia
ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum
negara lain dalam menjabarkan politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim
RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang memiliki
kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem hukumnya.
Bahwa kemudian terjadi perdebatan secara akademis
mengenai apakah perlu Indonesia mengadopsi KUHAP dari negara-negara lain
ataukah cukup dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila dan hukum yang sudah
lama hidup di dalam masyarakat (the living law),
Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana
merupakan bagian dari kebijakan legislatif hukum pidana (penal policy)
menjadi salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan hukum nasional yang
hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku,
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang
menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum
yang sangat penting untuk diperhatikan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip
pendapat dari Montesquieu, bahwa pembentukan hukum dilakukan oleh
kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga
cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan
kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang,
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif
adalah kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketa/konflik. Pembatasan
kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori
pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini
adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri
oleh mereka yang menerapkannya.
Dalam praktek pembentukan hukum di kenal beberapa
karakter diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD
yaitu:
- Proses
pembentukan hukum partisifatit/responsif adalah pembentukan hukum yang
memberikan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau
individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan
keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan
partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi
harapan masyarakat.Pembentukan hukum seperti ini dilakukan pada produk
hukum yang responsif/populistik.
- Pembentukan
Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan hukum responsif, adalah
produk hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok
maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya
peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk hukum
konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan
pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat
pelaksanaan ideologi dan program negara.
Sedangkan menurut CFG. Sunarjati Hartono, bahwa
Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik hukum yang berlaku adalah politik
hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu sistem
hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum nasional harus
dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila
dan UUD 1945.
- Unsur
Sekunder (Sub-System)
Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai
literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”.
Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan
ke dalam unsur kedua ini adalah:
- Kepolisian;
- Kejaksaan;
- Pengadilan;
dan
- Lembaga
Pemasyarakatan.
Jika kita memperhatikan perkembangan perjalanan
institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna
memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan effesien.
Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu lembaga
yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan 1 (satu) institusi
partikelir, yaitu profesi Advokat.
Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli
Atmasasmita, terkait dengan pandangannya bahwa pendekatan terhadap Sistem
Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari sudut pandang ilmu
sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut bertanggungjawab atas
keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana. Maka Penulis, hendak
menegaskan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari
sub-sistem dari Sistem Peradilan Pidana.
Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup
sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana adalah:
- Advokat/Penasehat
Hukum
- Kepolisian;
- Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
- Kejaksaan;
- Pengadilan;
- Lembaga
Pemasyarakatan; dan
- Masyarakat.
- Unsur
Tertier (supporting system)
Di dalam supporting system ini, Penulis mencoba
memberikan gambaran bahwa kinerja dari sub-sistem tidak dapat berdiri sendiri.
Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain pun memiliki peranan yang
cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang bagi proses
penegakan hukum di Indonesia.
Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke
dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
- Lembaga
Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non-Kementerian dan
Pemerintah Daerah
- Lembaga
extra-Structure (Ekstra Struktural)
Kedua jenis lembaga tersebut memiliki peranan yang
cukup penting sebagai penopang dari unsur sub-sistem. Pemerintah Daerah,
misalnya, memiliki peranan cukup penting dalam melakukan pendataan kependudukan
di wilayah kewenangannya. Yang kemudian dapat digunakan oleh aparat penegak
hukum untuk dapat dengan segera melakukan identifikasi individu, baik sebagai
tersangka/pelaku tindak pidana maupun sebagai korban kejahatan.
Hanya saja cukup disayangkan pentingnya pendataan kependudukan,
masih dianggap sebagai keperluan kepentingan administrasi kedaerahan semata.
Data kependudukan yang dimiliki Pemerintah Daerah masih bersifat pasial,
sehingga di dalam proses penegakan hukum, pemetaan kependudukan untuk
memperoleh gambaran sejelas wilayah-wilayah yang masih rawan tingkat kejahatan,
tidak terkonfigurasi dengan baik. Walaupun pihak apartur penegak hukum dapat
meminta data-data tersebut, namun sifatnya adalah menunggu permintaan. Aparatur
penegak hukum tidak dapat secara langsung mengakses data-data tersebut.
Hal ini perlu dipahami, bahwa proses bekerjanya
aparatur penegak hukum dalam suatu Sistem Peradilan Pidana bukan saja sebagai
penindak, namun juga sebagai pengendali tingkat kejahatan.
Demikian pula, posisi lembaga ekstra struktural di
dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Perlindungan Saksi & Korban,
misalnya, memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya di dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, terkait dengan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan
perlindungan hukum kepada Saksi dan Korban, seringkali justru berbenturan
dengan aparatur penegak hukum.
Masih jelas dalam ingatan Penulis, dalam perjalanan
LPSK, pada kasus Susno Duadji. Dimana keputusan LPSK yang menempatkan Susno
Duadji sebagai subyek hukum yang diletakan dalam perlindungan LPSK, mendapat
pertentangan dari Kepolisian.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, maka telah
tergambarkan tujuan dari penulisan ini. Bahwa Penulis berpendapat, hubungan
secara horizontal dan vertikal pada organ pemerintah, dalam ranah Hukum
Administrasi Negara, dan hubungan yang harmonis dalam pembagian kekuasaan
kehakiman, dalam ranah Hukum Tata Negara di Indonesia, perlu dikaji ulang.
Kesinambungan kinerja antar lembaga, hendaknya
dipandang dari keseragaman secara fungsional, dan bukan secara administratif.
Sehingga, dalam kajian fungsional kelembagaan, Mahkamah Agung dapat melakukan
pengawasan dan pengarahan, sehingga muncul keselarasan. Pemisahan kekuasaan
antara eksekutif dan yudikatif secara administratif dan fungsional, justru memunculkan
kerancuan dalam menjalankan amanah undang-undang.
Walaupun memang di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab X mengatur tentang lembaga-lembaga
yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu:
- Penyelidikan
dan Penyidikan;
- Penuntutan;
- Pelaksanaan
Putusan;
- Pemberian
jasa hukum; dan
- Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah posisi
dari seorang advokat/lawyer/penasehat hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana.
Mengutip pendapat dari Deborah M. Hussey Freeland, bahwa:[66]
“Di dalam diskusi Sejarah Hukum dan Common Law terkait
fungsi dari seorang pengacara, Saya menemukan hipotesis yang mendukung
pentingnya posisi pengacara sebagai pejabat pengadilan (officer of court).
Untuk menilai sejauh mana diskusi ini menunjukkan baik hanya aspiratif atau
menyadari sepenuhnya untuk peran pengacara, saya mempertimbangkan bagaimana
seseorang menjadi seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan
pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya menarik dari
teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan dari sangat langkanya
upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara tersebut. Saya menemukan bahwa
pengacara memanifestasikan, melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan:
jika pengacara belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam administrasi
keadilan, dia tidak akan menjadi pengacara, dan dia tidak akan hadir untuk
mewakili kliennya sebagai pihak tindakan hukum. Tugas mewakili dari pengacara
dijalankan untuk pengadilan dan kepada klien, dan yang terakhir tergantung dari
mantan klien. Identitas profesional pengacara sebagai petugas pengadilan
penting bagi pengacara pribadi yang mungkin terganggu dengan mengamati dirinya
secara sempit sebagai advokat yang penuh semangat, dan penting juga untuk upaya
sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi hukum.”
Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menjelaskan sebagai
berikut:
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan
mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”
Dengan demikian, jelas sudah bahwa secara de jure,
seorang Advokat adalah bagian dari sub-sistem. Walaupun secara de facto,
seorang Advokat lebih sering berdiri pada posisi kepentingan klien.
page 3....
0 komentar:
Posting Komentar