lanjutan......
Beberapa Pengertian Mendasar Dalam Bahasa Hukum
1. Semantik Hukum
Semantik Hukum adalah ilmu pengatahuan yang menyelidiki
makna atau arti kata-kata hukum, perhubungan dan perubahan-perubahan arti
kata-kata itu dari zaman ke zaman menurut waktu tempat dan keadaan. Misalnya
istilah hukum perdata yang sekarang kita pakai sebagai terjemahan dari istilah
hukum Belanda privaatrecht berasal dari kata Arab (Islam) yaitu hukum (hukum)
dan istilah Jawa (Hindu) yaitu pradata.
Jika kita sekrang mengartikan perkara perdata adalah perkara
yang mengatur hubungan hukum antar orang dengan orang lain, baik orang dalam
arti hukum manusia maupun dalam arti badan (hukum), maka lain halnya dizaman
kerajaan Mataram, yang pada zaman itu disebut perkara pradata pada umumnya
perkara yang membahayakan mahkota, yang sifatnya mengganggu keamanan dan
ketertiban negara. Perkara demikian menjadi urusan peradilan raja, yang
sekarang merupakan hukum publik , sedangkan hukum privat ketika itu adalah
perkara padu dan tidak menjadi urusan raja melainkan urusan rakyat di
daerah-daerah dengan peradilan adatnya.
Selama ini susunan perundang-undangan atau
peraturan-peraturan yang dibuat pada umumnya terdiri dari pertimbangan
(konsideran), pasal-pasal aturannya, dan penjelesannya. Dengan sistem demikian,
pembentuk undang-undang berusaha menguraikan alasan-alasan, maksud dan tujuan
peraturan itu, hal yang diatur dan dibagi kedalam berbagai bab dan pasal serta
ayat-ayatnya, kemudian dikemukakan penjelasan dari setiap pasal yang memerlukan
penjelasan.
2. Kaidah Hukum
Kaidah Hukum mengandung kata-kata perintah dan larangan, apa
yang mesti dilakukan dan apa yang mesti tidak dilakukan, tidak sedikit yang
mengandung paksaan. Kaidah hukum tidak hanya berbentuk kaidah perundangan yang
berwujud bahasa tulisan, tetapi juga berwujud bahasa lisan, bahasa yang tidak tertulis
dalam bentuk perundangan , seperti terdapat dalam hukum adat dan hukum
kebiasaan.
Adakalanya apa yang tersirat dalam didalam hukum adat itu
tersirat dalam perundangan. Misalnya di dalam bagian umum IV penjelasan UUD
1945, yang memakai istilah semangat. Istilah ini adalah istilah hukum adat yang
menujukkan kepribadian bangsa Indonesia yang semangatnya lebih menujukkan asa
kekeluargaan daripada asas perorangan yang lebih mengutamakan kepentingan
sendiri.
3. Konstruksi Hukum
Konstruksi Hukum (rechtsconstructie) yang merupakan
alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara
sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud
adalah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pengertian
yang sama.
Istilah pencurian misalnya adalah suatu konstruksi hukum,
yaitu suatu pengertian tentang semua perbuatan mengambil barang dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum (Pasal 362 KUHP). Jadi apakah perbuatan itu
disebut maling, nyolong, nyopet, apakah ia mengambil benda tidak berwujud
(listrik) atau berwujud, kesemuanya apabila dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, maka perbuatan itu disebut pencurian.
4. Fiksi Hukum
Fiksi Hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan dalam ilmu
hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam
bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum. Bentuk
fiksi hukum banyak dipakai dalam hukum adat melalui peribahasa sedangkan dalam
hukum perundangan memakai bentuk kalimat pasal demi pasal.
Di dalam hukum adat Banetn misalnya dikatakan banteng anut
ing sapi sapi jantan mengikuti sapi betina, kiasan hukumnya dikarenakan suami
ikut menatap di tempat isteri, maka kedudukan suami lebih banyak dipengaruhi
oleh hukum dipihak isteri, sehingga dalam hukum kewarisan rumah diwariskan
kepada anak wanita.
Didalam hukum perudangangan misalnya dipakai istilah badan
hukum (rechtperson) yang dikiaskan sebagai orang bukan manusia, maksudnya suatu
badan pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia yang merupakan subjek
hukum, misalnya koperasi, yayasan, PT, dll. Sehingga didalam ilmu hukum
terdapat pengertian orang (person) yang asli yaitu manusia pribadi dan manusia
semu yaitu badan hukum. Begitupula dengan istilah barang tetap seperti bidang
tanah dan barang tidak tetap seperti perhiasan.
5. Pembentukan Hukum
Pada masyarakat di masa lampau yang belum pesat kemajuan
hidupnya, seperti pada masyarakat adat yang tradisional di masa sebelum
kemerdekaan, pembentukan hukum lebih banyak mengandung hal-hal yang bersifat
seni , menggunakan kata-kata yang indah dalam bentuk puisi atau prosa, lukisan
atau lambang , pepatah atau peribahasa. Pada masyarakat modern cara-cara lama
itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakatnya.
Bukan saja karena kebutuhan masyarakat modern sudah semakin
luas, tetapi juga manusia sekarang nampaknya sduah banyak yang tidak bisa lagi
diberikan pengertian dengan kata sindiran atau kata kiasan yang abstrak.
Masyarakat yang berkripadian Indonesia seperti halnya pada
masyarakat hukum adat masih mengenal, menghormati dan menggunakan bahasa hukum
adat dan seni hukum adatnya. Di kalangan orang-orang tua, para pemuka
masyarakat adat dan musyawarah kerabat, pepatah dan peribahasa hukum masih sering
digunakan.
Misalnya peribahasa melayu ; Berstaunya air itu karena ada
penyalur, bersatunya kata karena sepakat. Kiasan hukumnya : Di dalam musyawarah
biasa terjadi perbedaaan pendapat, namun dengan adanya pipminan rapat yang
bijaksana dan rasa kebersamaan antara peserta, saling pengertian menimbulkan
kesepakatan.
Didalam peribahasa Bugis dikatakan : Tidak ada orang yang
akan menghujani garamnya. Artinya tidak ada orang yang akan menceritakan
keberukannya. Kisaran hukumnya : di dalam pemeriksaan perkara di muka
pengadilan tidak semua orang akan mengemukakan kesalahannya.
Kemudian dalam bentuk bahasa lambang, misalnya dalam istila
Lampung dikenal Mebali yang artinya memberi tanda dengan ranting kayu ytang
diikat dengan rotan, dengan belahan bambu atau sabuk enau dan sebagainya, pada
batang pohon tertentu di hutan. Maksudnya menujukkan bahwa bidang tanah hutan
di sekitar pohon itu telah dikuasai seseorang yang akan membukanya menjadi
tanah peladangan.
Peraturan-peraturan hukum modern yang dibentuk oleh pembentuk
undang-undang atau keputusan-keputusan hakim yang dibentuk dibuat oleh para
hakim di muka pengadilan atau juga dalam lembaga-lembaga resmi atau swasta
dapat dilihat dari segi politik dan teknik hukumnya.
Politik hukum yang dimaksud adalah kehendak yang tertera
dalam kalimat-kalimat yang menetapkan tujuan dan isi peraturan itu. Sedangkan
teknik hukum yang dimaksud adalah cara perumusan kaidah hukum dengan
menempatkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibuat secara sederhana
sedemikian rupa sehingga maksud dari pembentukan hukum itu jelas dapat
diketahui didalamnya.
5. Penafsiran Hukum
Penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang itu
secara kurang jelas.
a. Penafsiran Autentik
Jenis ini adalah penafsiran yang pasti terhadap arti
kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini
sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,
misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara
matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan
yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang
artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum
yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak
boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP
penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan
pasal demi pasal.
b. Penafsiran Tata Bahasa
Hakim harus memperhatikan arti yang lazim suatu perkataan di
dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat yang
bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan lainnya.
Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang
sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu
peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat
tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan
istilah “kendaraan” itu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan
dengan perkataan “kendaraan” itu, Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah
termasuk juga sepeda.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam
dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata
“meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
c. Penafsiran Historis
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki
dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat
antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU,
memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum,
dll.
Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan
dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP.
d. Penafsiran Sosiologi
Penafsiran oleh hakim dengan memperhatikan keperluan yang
ada di dalam masyarakat, dengan catatan bahwa hakim harus menjaga jangan sampai
mereka mengambil alih tugas dan kewenangan badan legislatif.
page 3............terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar