Kamis, 06 November 2014

MODEL DAN BENTUK SISTEM PERADILAN PIDANA

MODEL DAN BENTUK SISTEM PERADILAN PIDANA

Ada beberapa model yang melandasi Sistem Peradilan Pidana, Lilik Mulyadi mengutip pendapat dari Michael King, dimana Beliau mengajukan 7 jenis model Sistem Peradilan Pidana. Sedangkan Herbert L. Packer mengidentifikasi dua model (crime control modeal dan due process model) yang paling abadi yang menawarkan penjelasan tentang bagaimana lembaga dan kebijakan dapat dibentuk dan mereka dapat berguna dapat dilihat sebagai ujung-ujung kontinum karena mereka menyajikan kontras pemikiran dan karakteristik. Dalam pokok pembahasan ini, Penulis mencoba untuk menampilkan kesemua model tersebut, yaitu antara lain:
  1. Crime Control Model
Crime Control Model didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan Pidana. Menurut Crime Control Model, tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menekan kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa dihukum.
Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime Control Model menyatakan bahwa perhatian utama harulah ditujukan pada efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
Efektif, dalam crime control model akan diasumsi oleh hukum adalah bersalah, yang berarti memungkinkan pra-penghakiman bersalah (dan akhirnya preventif dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan) untuk divonis pada tersangka tertentu. Bahkan, mengatakan bahwa jika pemerintah – yang diinvestasikan dengan kekuasaan publik – memulai penyelidikan menjadi individu tertentu dan sebagai akibatnya mereka memutuskan bahwa bukti yang cukup telah dikumpulkan untuk membawanya ke pengadilan, maka harus dianggap bahwa individu dalam hal ini bersalah, dan itu adalah tugas dari tersangka/terdakwa untuk menyangkal ini dan menyajikan bukti sebaliknya.
Sehingga oleh Herbert L. Packer dikemukakan bahwa, doktrin yang digunakan oleh crime control model adalah apa yang dikenal dengan nama presumption of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin ini, maka crime control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun harus mengorbankan Hak Asasi Manusia.
Sehingga, Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead guilty).
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa crime control model merupakan tipe affirmative model, yaitu model yang selalu menekankan pada effisiensi dan penggunaan kekuasaan pada setiap sudut proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.
  1. Due Process Model
Menurut Due Process Model, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa pidana secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi.
Due Process Model jauh lebih skeptis terhadap proses investigasi administrasi dan kapasitas untuk membuat penilaian yang akurat bersalah tanpa pengawasan yudisial. Due proses model menghargai hak-hak individu dan martabat dalam menghadapi kekuasaan negara, bukan hanya penindasan terhadap kejahatan.
Menurut John Griffith, due process model tampak sangat berbeda dengan crime control model, sistem due process model berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep pembatasan kekuasaan resmi.
Oleh karena itu, due proses model menolak informal administrasi pencarian fakta, dan preferensi ajudikasi yang mengambil posisi berseberangan dengan proses formal. Di dalam due process model, tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus tersebut disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan terdakwa telah memiliki kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap dirinya.
Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang harus melalui suatu persidangan.
Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model adalah:
  1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi (human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual guild” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaannya.
  2. Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.
  3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan martabat manusia.
  4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.
  5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
  6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
  1. Family Model
Family Model adalah suatu Sistem Peradilan Pidana yang dipelopori oleh John Griffith, dimana beliau menegaskan sebagai berikut:
a defendant is not seen as an opponent but as an erring member of the family, whom the parent might reprove but ought no to reject
(Terjemahan bebas è pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musuh masyarakat tetapi dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna pengendalian control pribadinya tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan).
Menurut John Griffith, bahwa Herbert L. Packer tidak memberikan dua model sistem peradilan pidana, namun hanya satu model, yaitu battle model. Hal tersebut didasarkan kepada ideologi yang dianut oleh crime control model dan due process model adalah “to put a suspected criminal in jail”.
Sehingga John Griffith mencoba mengajukan ideologi alternatif dalam memandang si petindak.  Bahwa seorang petindak, harus di treatment dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih. Agar muncul perasaan, bahwa ia (si petindak) merupakan bagian dari ‘keluarga’ yang sedang dinasehati.
  1. Medical Model
Empat puluh tahun setelah “medical model” – sebagai ilmu pidana yang berorientasi pada sistem pemasyarakatan rehabilitatif yang mendominasi Amerika dari Perang Dunia II sampai tahun 1970-an dikenal luas — mulai ditinggalkan, pada Brown vs Plata menunjukkan, kembalinya dalam waktu dekat analisis kedokteran dan masalah penyakit publik, kepada pandangan publik kami atas imaninasi terhadap penjara dan pemahaman konstitusional kita terhadap penghukuman yang manusiawi.
Hal tersebut didasarkan kepada gambaran yang mengejutkan bahwa tahanan yang menderita penyakit mental dan fisik kronis yang kompleks sebagian besar ditinggalkan oleh Negara modern menuju kekacauan dengan lebih mengingatkan kepada penjara abad pertengahan dari penjara modern, kasus Brown vs Plata lebih menggambarkan bahwa sistem pemasyarakatan yang telah bergeser jauh sekali dari asal pemasyarakatan medical model yang lama dengannya aspirasi yang telah teruji secara ilmiah dalam pengobatan pidana.
Namun di dalam kasus Brown vs Plata memunculkan norma yang memerintahkan kepada Pemerintah California agar secara signifikan mengurangi populasi penjara dalam rangka melaksanakan reformasi secara meluas dalam penyampaiannya dengan menggunakan perawatan kesehatan, sepanjang dengan pemaparan yang mendalam bahwa penyakit kronis (baik mental maupun fisik) telah memiliki populasi di penjara, maka kita dapat meramalkan munculnya medical model yang baru.
Meskipun medical model pada hukuman percobaan dan pembebasan bersyarat belum sepenuhnya ditinggalkan, namun pada populasi tertentu telah ditargetkan dengan sistem pengobatan yang tepat.

Medical model adalah sebuah pendekatan patologi yang bertujuan untuk mencari perawatan medis untuk gejala yang di diagnosis dan sindrom dan memperlakukan tubuh manusia sebagai mekanisme yang sangat kompleks.
Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasan untuk memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.
  1. Bureaucratic Model
Penyelesaian sengketa di antara warga negara merupakan salah satu pelaksanaan fungsi utama dari Pemerintahan, yaitu – meskipun terjadi pelanggaran kewenangan antara beberapa institusi administrasi – berdasarkan sejarah termasuk ke dalam ranah peradilan. Bagaimana suatu sengketa diselesaikan merupakan pertanyaan secara politis yang penting, bukan hanya disebabkan karena pemaknaan dan implementasi atas Undang-undang yang tertulis, tetapi juga dikarenakan apa yang dimaksud dengan Masyarakat, sistem politiknya, dan pandangan terhadap perseorangan yang berhadapan dengan Negara. Pentingnya peradilan dan prosesnya tersebut, sebagaimana disebutkan dengan jelas oleh Thurmond Arnold sebagai Simbol dari Pemerintahan
Sebuah penilaian yang berarti dari tenor keadilan dalam masyarakat harus fokus pada sidang pengadilan. Sementara pengadilan banding lebih terlihat, mereka juga lebih dibersihkan dan terisolasi dari realitas yang paling sengketa. Selain itu, mereka mempengaruhi langsung hanya sebagian kecil dari semua warga negara yang datang dalam kontak dengan peradilan. Dalam banyak hal sidang pengadilan yang paling menarik untuk memeriksa adalah pengadilan pidana, khususnya pengadilan kejahatan di mana taruhannya tertinggi untuk kedua terdakwa dan masyarakat. Dalam pengadilan ini pemerintah terlibat sebagai inisiator, peserta, dan mediator. Warga negara ini juga merupakan gabungan pihak tidak mau dan sering lawan tak berdaya dan didiskreditkan.
Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.
  1. Just Deserts Model
Sistem Peradilan Pidana dengan metode just desert model beranjak dari Teori Pemidanaan Just Desert yang dikemukakan oleh Andrew von Hirsch pada tahun 1976.
Teori Pemidanaan Just Deserts menganjurkan bahwa hukuman harus proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Para pendukung filsafat pemidanaan just deserts menekankan pentingnya proses hukum, penentuan hukuman, dan penghapusan diskresi peradilan dalam praktek peradilan pidana. Teori ini menjadi sangat mempengaruhi di Amerika pada tahun 1970-an.
Setiap orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yang dihukum. Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.
Teori Just Deserts merupakan derivasi dari pendapat Immanuel Kant, dimana di dalam bukunya, Kant, berpandangan bahwa manusia merupakan agen yang bersifat bebas berakal. Oleh karena itu, setiap orang harus mengetahui akibat hukum dari setiap tindakan dan harus menerima “deserts” (ganjaran) dari setiap perbuatannya. Kegagalan untuk menghukum yang bersalah, menurut Kant, merupakan pelanggaran terhadap keadilan. Namun, Kant menyatakan bahwa ganjaran dalam bentuk hukuman dari pengadilan hanya harus ditimbulkan untuk menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan dan bukan untuk tujuan lain.
Untuk mempertahankan alasan moral dari teori tersebut, kemudia just deserts theory mengajukan pertimbangan bahwa pelaku/petindak seharusnya dihukum, namun hanya karena mereka patut menerima hukuman tersebut. Penganut just deserts theory mengklaim, walaupun terdapat keuntungan positif lainnya yang munkin muncul sebagai hasil dari pemidanaan, misalnya seperti pencegahan kejahatan lebih lanjut, hal tersebut merupakan akibat sampingan (incidental effects) dan bukan merupakan tujuan dari pemidanaan.
Sehingga, agar just deserts model menjadi layak dan efisien, maka skala dan tingkatan (tariff) dari jenis kejahatan dan pemidanaannya menjadi sangat dibutuhkan. Berdasarkan prinsip sistem tingkatan (principle of tariff system), maka pelaku/petindak akan menerima secara proporsional berdasarkan beratnya pelanggaran dan kesalahan, serta kelayakan dalam menghukum pelaku/petindak.
Untuk mempertahankan tinkatan tersebut, maka kejahatan atau tindak pidana perlu diklasifikasikan berdasarkan tingkatan atau kategorinya yang didasakan kepada tingkat keseriusan dari perbuatan yang dilakukan, dan pemidanaan harus disesuaikan berdasarkan kategori tersebut untuk memberikan ketidaknyamanan bagi pelaku/petindak. 
Di Indonesia, tariff systems nampaknya mulai mempengaruhi, walaupun hanya dicoba untuk diterapkan secara parsial yaitu pada pidana denda saja.
  1. Integrated Criminal Justice System Model
Nilai- nilai yang mendasari Intregrated Criminal Justice System Model atau Model Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah:
  1. Menuntut adanya keselarasan hubungan antar subsistem secara administrasi.
  2. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut.
  3. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan kepada hukum, dengan menjamin adanya adanya due procees dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
  4. Menjaga hukum dan ketertiban.
Tujuan dari Sistem Peradilan pidana sebagai salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan antara lain:
  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana, bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan terpadu antara subsistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana, juga bermanfaat dalam hal:
  1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi. Data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan
  2. Mengetahui kebarhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan
  3. Kedua butir nomor 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mewujudkan tujuan nasional
  4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada inidividu maupun masyarakat.
Terkait dengan munculnya wacana Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), maka ada beberapa hal yang patut untuk ditelaah, dimana kata “Integrated“ atau “Terpadu“, sangat menarik perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah sistem dalam “the criminal justice system”. Hal ini karena dalam istilah system, seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination), di samping karateristik yang lain seperti, adanya tujuan-tujuan yang jelas dari sistem, proses input-throughput–output and feedback, sistem control yang efektif, negative-anthropy dan sebagainya.
Menurut Kats and Kahn, sebagai common characteristics, coordination diartikan sebagai fixed control arrangements. It is the addition of nations devices for assuring the functional articulation of task ang roles- controlling the speed of assembly ine, for example. Integration merupakan the achievement of anification through hared norm and values.
Muladi, menyetujui apabila penyebutan Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut, lebih diarahkan untuk memberikan tekanan, agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan.[100] Menurut Black’s law Dictionary, rumusan dari Sistem peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah
“… the collective institutions through which an accused offender passes until the accusations have been disposedof or the assessed punishment conculed…”.
Pemahaman terhadap Sistem Peradilan Pidana Terpadu atau SPPT yang sesungguhnya, adalah bukan saja pemahaman dalam konsep “integrasi“ itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana yang terpadu juga mencakup makna substansiil dari urgensitas simbolis prosedur yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis makna keadilan secara terintegrasi. Sehingga dengan demikian penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus menegakkan keadilan.
Pemahaman terhadap pandangan tersebut di atas, NV Pillai menyatakan bahwa:

“ …….. the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different sections on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’, somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel and its own operational methods.”

(Terjemahan  ==> Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu tidak membayangkan seluruh sistem bekerja sebagai satu unit atau departemen atau sebagai bagian yang berbeda pada satu layanan terpadu. Sebaliknya, dapat dikatakan bekerja pada prinsip ‘kesatuan dalam keanekaragaman’, agaknya seperti itu sebagaimana fungsi dari angkatan bersenjata. Masing-masing dari tiga angkatan bersenjata utama memiliki peran yang khas, skema pelatihan, personel sendiri dan metode operasionalnya sendiri.)


Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau integrated criminal justice system (ICJS) memiliki konsekuensi bagi semua pihak yang terlibat untuk menemukan formulasi yang tepat dalam membangun sistem koordinasi antar institusi.

1 komentar:

hanna mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.