Definisi masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk
merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan. Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung
lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut,
asumsi yang kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan
multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat
majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia,
semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat
Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam
menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan
berbias etnis maupun agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum
intelektual Indonesia pun dianggap bertanggung jawab karena turut
mempertahankan konsepsi masyarakat majemuk Indonesia ke dalam wacana publik.
Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi beragamnya
primordial Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi majemuk melainkan
multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang berbeda setara posisinya
dalam proses hidup dan berpolitik di dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya konsepsi masyarakat majemuk menyiratkan bias konsep dominasi salah
satu etnis atau ras dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia.
Untuk itu, akan ditelusuri sejumlah teori sosial
berkenaan dengan konsep majemuk dan multikultur masyarakat. Ini guna mencari
pijakan teoretis dalam melakukan counter theory terhadap hegemoni konsep
masyarakat majemuk dalam studi-studi sosial dan politik Indonesia. Tentunya, kita
berharap yang baik, bahwa integrasi antar elemen masyarakat Indonesia tercipta
tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui proses negosiasi secara alamiah dan
penuh kedamaian.
Masyarakat Majemuk Indonesia
John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama
kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural
society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang
dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka
kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang
memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk
saling memahami satu sama lain.
Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat
yang mengalami tindak kolonial barat seperti Burma, India, ataupun Indonesia.
Mengenai fakta plural society ini, Furnivall menulis dalam salah satu studinya
mengenai Burma:
In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is
the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and native. It is in the
strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by
its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As
individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling.
There is a plural society, with different sections of the community living side
by side but separately, within the same political unit. Even in the economic
sphere there is a division of labour along racial lines.[2]
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas
kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah
menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat
dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan
budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku),
budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah.
Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status,
lembaga, ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah
peta pembicaraan masyarakat majemuk.
Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan
sehingga menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat India misalnya,
kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas sejumlah agama besar
yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini mulai memudar, dalam
masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran
agama. Di dalam masyarakat yang menganut agama Islam, kasta tidak berlaku dan
situasi masyarakat lebih egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada
kemajemukan sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan
status-status sosial, sementara pelapisan kelas dan status tersebut berjalan secara
berbeda di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran
tajam antara kedua elemen masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat
memerlukan space atau wilayah untuk mengimplementasikan keyakinan budaya dan
sosial yang berbeda. Friksi tajam ini berkulminasi dalam pemisahanan India
(Hindu), Pakistan (Islam, di barat India), dan Bangladesh (Islam, di timur
India) sejak 1948 lewat fasilitasi Inggris.
Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa,
Furnivall menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut garis budaya yang
spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit politik menganut budaya yang
berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok lainnya tetapi
masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya. Kelompok-kelompok
masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam kegiatan sehari-hari (semisal
di pasar), tetapi masing-masing mempraktekkan budayanya masing-masing. Di
pasar-pasar tradisional, para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga
kerap memperdengarkan percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang,
Madura, Sunda, dan lain-lain. Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang
didagangkan misalnya pedagang Minang di bagian pakaian, pedagang Batak di
kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan bahan mentah, pedagang
Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan seterusnya.
Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat
majemuk ini. Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri
kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya
kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan
digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang,
gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat
yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan
diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah
tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat
dipergunakan , maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya .
Lebih lanjut Suparlan menyatakan:
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang
terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung
atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem
nasional.
Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada
tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang
penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan
berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan
keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara
tradisional berlaku.
Faktor suku (juga agama) menjadi perhatian serius bagi
negara yang terbangun lewat gejala masyarakat majemuk. Faktor etnis dan agama
menjadi persoalan sensitif yang mampu memicu kekerasan dan konflik, seperti
kerap terjadi di Indonesia. Ini akibat proses integrasi nasional yang belum
selesai. Integrasi semu sempat terjadi di Indonesia selama Orde Baru, di mana
Soeharto berupaya mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis ke bawah jargon budaya
nasional. Ia mengembangkan tabu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
sebagai terlarang untuk dipertentangkan di muka publik. Kemayaan ini tampak
jelas setelah Soeharto turun dari kekuasaan, konflik-konflik berlatar belakang
suku, agama, ras, dan antargolongan jadi meruyak.
Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan
harmonis meskipun sekadar berupa api dalam sekam. Kondisi harmonis karena
negara sangat strong dengan alat pengaman negara (militer, intelijen) yang
padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah, banyak konflik yang
dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi dengan mudahnya,
bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu
SARA-nya sendiri untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an:
Merangkul kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok
nasionalis dan non Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.
Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat
majemuk, Leo Kuper memberi catatan berikut:
- Societies composed of status groups or estates
that are phenotypically distinguished, have different positions in the
economic order and are differentially incorporated into the political
structure, are to be called plural societies and distinguished from class
societies. In plural societies political relations influence relations to
the means of production more than any influence int the reverse direction.
- When conflicts develop in plural societyes ther
follow the lines of racial cleavage more closely tahan those of class.
- Racial categories in plural societies are
historically conditioned; they are shaped by inter-group competition and
conflict.
Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz,
masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem
yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem
terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Hal yang menarik
kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat
majemuk ini, yaitu:
- Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk
kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda
satu sama lain;
- Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke
dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
- Kurang mengembangkan konsensus di antara para
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
- Secara relatif seringkali mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
- Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas
paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
serta
- Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas
kelompok-kelompok yang lain.
Melalui paparan di atas, diketahui bahwa teori masyarakat
majemuk (plural society) awalnya lahir dari pengamatan J.S. Furnivall atas
negara-negara kolonial dan postcolonial. Di negara-negara tersebut, masyarakat
terkotak ke dalam sekat-sekat asal usul (suku, ras, agama, golongan) di mana
satu suku atau agama mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut dipaksa untuk
bersatu oleh sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati disatukan mereka dipecah di
dalamnya agar tidak bersatu. Mereka disatukan hanya agar mudah dieksploitasi.
Masyarakat majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common will (kehendak
bersama). Akibatnya, individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok
basis primordial mereka. Common will yang bersifat nasional kendatipun ada
hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil sukses politik Divide et Impera
kaum kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created by
Western imperialism, and maintained through political coercion for economic
exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who
share little more than the imposed economy and policy.[9]
Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk
juga terjadi antara masyarakat eks penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara
tajam dipisahkan kemajemukan seperti Hindu dan Muslim di India (diikuti
pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah agama, bahasa
Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan Wapemba),
Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi),
Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika
Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus Yoruba),
Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan
Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki), Irlandia Utara (Protestan dan Katolik),
Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi Relijius-Yahudi Sekuler, Yahudi
Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam, Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit
versus Kristen Druze versus Islam Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India
versus Cina versus Melayu), Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan
Indonesia (lewat serangkaian kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit,
Poso, dan Ambon).
Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi
Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan,
masyarakat dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras dan golongan.
Pembelahan dilakukan secara sistematis, terstruktur, menggunakan agen-agen
khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn. Pembelahan terus bertahan bahkan
hingga pasca Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa versus
Luar Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun
amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus
nasional mulai dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya
Indonesia. Ruang kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat
multikultur Indonesia.
Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada
– penggunaan bahasa Indonesia, simbol negara seperti bendera dan lagu
kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma seperti aturan hukum dan
perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan politik etnis
dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan golongan mewarnai
peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.
Sulit diprediksi apakah Indonesia masih relevan untuk
disebut masyarakat majemuk atau tidak, tetapi fakta menunjukkan jawabannya
adalah ya. Namun, jika pertanyaan susulan diajukan adalah apakah paham
kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya adalah ya. Persoalan mendesak adalah
bagaimana membelokkan dominasi paradigma masyarakat majemuk menjadi paradigma
lain yang lebih toleran dan mungkin menciptakan integrasi nasional yang lebih
baik bagi Indonesia. Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan, masyarakat
multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk. Sebagai
gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat diupayakan di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar