Kamis, 06 November 2014

upaya untuk mengatasi kekosongan hukum

Upaya Yang Dapat Dilakukan Dalam Mengatasi Terjadinya Kekosongan Hukum

Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim
Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date).
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan sebagai berikut:
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. 
Atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.
Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.
Jika Hakim diotorisasi untuk memutuskan suatu perselisihan sebagai seorang legislator dalam kasus tata hukum tidak berisi norma umum yang mewajibkan tergugat atau terdakwa seperti diklaim oleh penuntut, hakim tidak mengisi kekosongan hukum, tetapi dia menambahkan kepada hukum yang valid tersebut suatu norma individual yang tidak berhubungan dengan norma umum. Hukum valid yang ada dapat saja diterapkan terhadap kasus konkret dengan menolak tuntutan. Hakim, bagaimanapun, diotorisasi merubah hukum untuk kasus konkret.
Dia memiliki kekuasaan untuk mengikat secara hukum individu yang sebelumnya secara hukum bebas. Namun kapan seharusnya hakim menolak gugatan, dan kapan harus membuat suatu norma baru, sangat tergantung pada fakta bahwa pelaksanaan hukum valid yang ada adalah sesuai dengan pendapat hakim baik secara hukum maupun politik norma umum yang mewajibkan tergugat atau terdakwa seperti diklaim oleh penuntut, hakim tidak mengisi kekosongan hukum, tetapi dia menambahkan kepada hukum yang valid tersebut suatu norma individual yang tidak berhubungan dengan norma umum. Hukum valid yang ada dapat saja diterapkan terhadap kasus konkret dengan menolak tuntutan. Hakim, bagaimanapun, diotorisasi merubah hukum untuk kasus konkret.
Dia memiliki kekuasaan untuk mengikat secara hukum individu yang sebelumnya secara hukum bebas. Namun kapan seharusnya hakim menolak gugatan, dan kapan harus membuat suatu norma baru, sangat tergantung pada fakta bahwa pelaksanaan hukum valid yang ada adalah sesuai dengan pendapat hakim baik secara hukum maupun politik.
Doktrin tradisional terutama sekali memandang putusan pengadilan, fungsi pengadilan, sebagai suatu penerapan hukum. Ketika menyelesaikan suatu sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, maka pengadilan menerapkan suatu norma umum dari hukum Undang-undang atau kebiasaan.

Namun, secara bersamaan pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menetapkan bahwa suatu sanksi tertentu harus dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Sehingga, fungsi pengadilan, seperti fungsi pembuat Undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum.

page 1

0 komentar: