Upaya Yang Dapat Dilakukan Dalam Mengatasi Terjadinya
Kekosongan Hukum
Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha
interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan
secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa
diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas,
tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date).
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan sebagai berikut:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka
seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan
hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas
hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.
Atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya
konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan
peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan UU
dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan yang ada tidak
dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.
Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan
isinya tidak jelas maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat
diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum,
yakni mencapai kepastian hukum.
Jika Hakim diotorisasi untuk memutuskan suatu
perselisihan sebagai seorang legislator dalam kasus tata hukum tidak berisi
norma umum yang mewajibkan tergugat atau terdakwa seperti diklaim oleh
penuntut, hakim tidak mengisi kekosongan hukum, tetapi dia menambahkan kepada
hukum yang valid tersebut suatu norma individual yang tidak berhubungan dengan
norma umum. Hukum valid yang ada dapat saja diterapkan terhadap kasus konkret
dengan menolak tuntutan. Hakim, bagaimanapun, diotorisasi merubah hukum untuk
kasus konkret.
Dia memiliki kekuasaan untuk mengikat secara hukum
individu yang sebelumnya secara hukum bebas. Namun kapan seharusnya hakim
menolak gugatan, dan kapan harus membuat suatu norma baru, sangat tergantung
pada fakta bahwa pelaksanaan hukum valid yang ada adalah sesuai dengan pendapat
hakim baik secara hukum maupun politik norma umum yang mewajibkan tergugat atau
terdakwa seperti diklaim oleh penuntut, hakim tidak mengisi kekosongan hukum,
tetapi dia menambahkan kepada hukum yang valid tersebut suatu norma individual
yang tidak berhubungan dengan norma umum. Hukum valid yang ada dapat saja
diterapkan terhadap kasus konkret dengan menolak tuntutan. Hakim, bagaimanapun,
diotorisasi merubah hukum untuk kasus konkret.
Dia memiliki kekuasaan untuk mengikat secara hukum
individu yang sebelumnya secara hukum bebas. Namun kapan seharusnya hakim
menolak gugatan, dan kapan harus membuat suatu norma baru, sangat tergantung
pada fakta bahwa pelaksanaan hukum valid yang ada adalah sesuai dengan pendapat
hakim baik secara hukum maupun politik.
Doktrin tradisional terutama sekali memandang putusan
pengadilan, fungsi pengadilan, sebagai suatu penerapan hukum. Ketika
menyelesaikan suatu sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang
terdakwa dengan suatu hukuman, maka pengadilan menerapkan suatu norma umum dari
hukum Undang-undang atau kebiasaan.
Namun, secara bersamaan pengadilan melahirkan suatu
norma khusus yang menetapkan bahwa suatu sanksi tertentu harus dilaksanakan
terhadap seorang individu tertentu. Sehingga, fungsi pengadilan, seperti fungsi
pembuat Undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum.
page 1
0 komentar:
Posting Komentar