Rabu, 12 November 2014

dimensi-dimensi budaya politik

Dimensi-dimensi Budaya Politik
Untuk memudahkan analisis pengaruh budaya politik terhadap administrasi public, khususnya birokrasi, maka dapat kita gunakan 4 parameter dimensi menurut Lucian W. Pye. Pye membagi dimensi tersebut menjadi hirarki dan equality, liberty and coercion, loyalty and commitment, dan trust and distrust.
Hirarki dan Equality. Hampir semua sturktur administrative punya stuktur hirarkis baik dalam hal personil maupun otoritas. Nilai-nilai budaya sehubungan dengan otoritas dan impersonalitas suatu aturan penting untuk menentukan akseptabilitas praktek-praktek manajemen hirarkis yang tersedia. Dalam hubungan dengan masalah hirarki dan equality ini, penting diajukan pertanyaan bagaimana cara rekrutmen untuk posisi administrative?

Anda tentu masih ingat ‘achievement’ dan ‘ascription’ dalam konteks bagaimana masyrakat merekrut orang untuk sebuah posisi, bukan? Dalam masyarakat yang berorientasi ‘achievement’ posisi seorang individu ditentukan oleh ability-nya. Kemajuan di masyarakat ditentukan oleh apa yang orang dapat lakukan, bukan oleh dari mana ia lahir. Di sisi lain, masyarakat askriptif merekrut individu ke dalam satu posisi (birokrasi) berdasarkan criteria askriptif seperti kelas, status, ras, bahasa, kasta, gender, singkatnya berdasarkan karakter personal yang eksklusif.
Kriteria ‘achievement’ banyak dihubungkan dengan masyarakat ‘modern’ sementara criteria ‘askriptif’ kepada masyarakat tradisional. Birokrasi sering dikatakan sebagai wujud masyarakat modern dan sebab itu dalam pola rekrutment harus mengikut pada pola ‘achievement.’ Para pemilih boleh saja memilih elit tradisional untuk mengatur Negara, tetapi birokrasi secara teori lebih memilih orang terbaik dengan mengabaikan posisi sosial-ekonomi atau karakteristik askriptif lainnya. Secara teori ini mungkin benar, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.
Dalam terminology tradisional, birokrasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang secara sosiologis posisinya berada di atas pemerintah. Namun, lewat perkembangan evolutif, terjadi upaya-upaya penyamaan posisi antara warganegara dan pemerintah. Birokrasi tidak lagi bercorak ‘raja’ tetapi lebih bercorak ‘pelayan’ yang secara sosiologi posisinya adalah sama, warganegara kebanyakan.
Liberty and Coercion. Dekat hubungannya dengan ide hirarki dan equality, adalah liberty dan lawannya, coercion. Hampir semua masyarakat telah mengalami perubahan historis, perubahan yang mengubah sistem nilai mereka. Dari dahulu yang berada melulu di bawah kendali pemerintah kini hendak menentukan bagaimana pemerintahan itu di-exercise.
Setiap birokrasi kini harus menentukan batasan kebebasan dan koersi sehubungan dengan implementasi sebuah keputusan. Sanksi mungkin lebih dapat diterapkan pada birokrasi-birokrasi Negara bercorak ekonomi seperti bank pemerintah, cukai, dan sejenisnya. Namun, bagaimana halnya dengan kepolisian? Pola punishment di Negara-negara modern dan demokratis adalah lebih rumit ketimbang di Negara-negara otoritarian.
Stabilitas suatu masyarakat demokratis bergantung pada derajat consensus nilai yang diterapkan baik oleh penegak hukum dan penerimaan warganegara. Misalnya, bagaimana polisi (birokrasi Negara) menangani protes-protes yang berkembang di tengah masyarakat demokratis. Di satu sisi merupakan hak mereka mengekspresikan keinginan atas pemerintah, di sisi lain aparatur Negara harus tetap menjamin ketenteraman dan ketertiban sosial. Cina dan Korea Selatan merupakan dua contoh bagaimana dimensi liberty dan coercion ini terus menjadi dilemma.
Loyalitas dan Komitmen. Dimensi ketiga adalah loyalitas dan komitmen. Keduanya mengacu pada seberapa besar individu memberikan loyalitas dan komitmennya kepada bangsa. Untuk banyak kasus Negara berkembang, juga beberapa Negara maju, orang masih mengidentifikasi dengan basis primordialnya. Masih banyak loyalitas diberikan kepada bahasa, keluarga, agama, kasta, atau suku bangsa, dan bukan kepada bangsa selaku keseluruhan. Di Eropa kini, loyalitas lebih banyak ditujukan kepada Uni Eropa bukan kepada Negara mereka masing-masing.

Dampak dari rendahnya komitmen terhadap Negara-bangsa telah menggejala. Ini utamanya terjadi tatkala komitmen lebih bersifat subnasional. Pertama, eksistensi perpecahan sosial cenderung mengarahkan kerja birokrasi. Contohnya, baik Belanda maupun Swiss telah mengatur kesepakatan aturan birokrasi seputar bahasa dan agama.
Kedua, hubungan antara administrator dan klien (warganegara). Sehubungan dengan hubungan kelas sosial dan rekrutmen pejabat, kita harus berikan perhatian pada komposisi etnik dalam birokrasi. Dominasi suatu etnik dalam birokrasi mengemuka utamanya di Negara-negara berkembang, khususnya di Negara-negara yang mewarisi birokrasi colonial. Sebagai contoh konflik etnik di Rwanda, Burundi, Nigeria, merupakan dampak dari dominasi sector public (termasuh angkatan bersenjata) oleh satu kelompok etnik atas lainnya. Ini juga terjadi di Irlandia, sehubungan dengan dominasi Protestan di Irlandia Utara yang mayoritas Katolik. Di Kanada ini terjadi antara wilayah-wilayah yang berbahasa Inggris dengan Perancis.
Trust and Distrust. Tingkat trust dan distrust di kalangan warganegara adalah penting. Political trust jadi penjelasan popular dalam menguraikan sukses-sukses relative di sistem-sistem politik yang berbeda. Perbedaan dalam level dan perkembangan kekuasaan pembuatan keputusan di Negara-negara sat ini merefleksikan pola-pola budaya politik di masyarakat tersebut. Pempolaan trust di budaya politik memainkan peran penting dalam penjelasan ini.
Untuk itu perlu dibedakan dua komponen political trust ini.
Pertama adalah komponen trust di tingkat individual, yang dilawankan dengan sinisme personal. Variabel ini adalah derajat di mana individu dalam masyarakat mempercayai orang lain di luar keluarganya. Dalam surveynya, Almond dan Verba menemukan 55% orang Amerika, 49% orang Inggris, 7% orang Italia percaya bahwa orang lain itu “bisa dipercaya.”
Pentingnya trust and distrust dalam konteks budaya politik adalah kurangnya social trust berakibat pada kemungkinan kondisi “mengatur/memerintah sendiri” di kalangan masyarakat. Di masyarakat yang derajat trust-nya tinggi, aktivitas warganegara dapat dimanfaatkan untuk mendukung antara pemerintah dan warganegara.
Tabel di atas memperlihatkan fenomena trust warganegara atas birokrasi public di Negara masing-masing. Dapat dilihat bahwa birokrasi yang berhubungan dengan pendidikan (Educn. System), kepolisian (police), dan sistem hukum (legal system) beroleh nilai kepercayaan rata-rata di atas 50%. Ini memperlihatkan kualitas kerja dan profesionalitas kerja mereka.


0 komentar: