Dimensi-dimensi Budaya Politik
Untuk memudahkan analisis
pengaruh budaya politik terhadap administrasi public, khususnya birokrasi, maka
dapat kita gunakan 4 parameter dimensi menurut Lucian W. Pye. Pye membagi
dimensi tersebut menjadi hirarki dan equality, liberty and coercion, loyalty
and commitment, dan trust and distrust.
Hirarki dan Equality. Hampir
semua sturktur administrative punya stuktur hirarkis baik dalam hal personil
maupun otoritas. Nilai-nilai budaya sehubungan dengan otoritas dan
impersonalitas suatu aturan penting untuk menentukan akseptabilitas
praktek-praktek manajemen hirarkis yang tersedia. Dalam hubungan dengan masalah
hirarki dan equality ini, penting diajukan pertanyaan bagaimana cara rekrutmen
untuk posisi administrative?
Anda tentu masih ingat
‘achievement’ dan ‘ascription’ dalam konteks bagaimana masyrakat merekrut orang
untuk sebuah posisi, bukan? Dalam masyarakat yang berorientasi ‘achievement’
posisi seorang individu ditentukan oleh ability-nya. Kemajuan di masyarakat ditentukan
oleh apa yang orang dapat lakukan, bukan oleh dari mana ia lahir. Di sisi lain,
masyarakat askriptif merekrut individu ke dalam satu posisi (birokrasi)
berdasarkan criteria askriptif seperti kelas, status, ras, bahasa, kasta,
gender, singkatnya berdasarkan karakter personal yang eksklusif.
Kriteria ‘achievement’ banyak
dihubungkan dengan masyarakat ‘modern’ sementara criteria ‘askriptif’ kepada
masyarakat tradisional. Birokrasi sering dikatakan sebagai wujud masyarakat
modern dan sebab itu dalam pola rekrutment harus mengikut pada pola
‘achievement.’ Para pemilih boleh saja memilih elit tradisional untuk mengatur
Negara, tetapi birokrasi secara teori lebih memilih orang terbaik dengan
mengabaikan posisi sosial-ekonomi atau karakteristik askriptif lainnya. Secara
teori ini mungkin benar, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.
Dalam terminology tradisional,
birokrasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang secara sosiologis
posisinya berada di atas pemerintah. Namun, lewat perkembangan evolutif,
terjadi upaya-upaya penyamaan posisi antara warganegara dan pemerintah.
Birokrasi tidak lagi bercorak ‘raja’ tetapi lebih bercorak ‘pelayan’ yang
secara sosiologi posisinya adalah sama, warganegara kebanyakan.
Liberty and Coercion. Dekat
hubungannya dengan ide hirarki dan equality, adalah liberty dan lawannya,
coercion. Hampir semua masyarakat telah mengalami perubahan historis, perubahan
yang mengubah sistem nilai mereka. Dari dahulu yang berada melulu di bawah
kendali pemerintah kini hendak menentukan bagaimana pemerintahan itu
di-exercise.
Setiap birokrasi kini harus
menentukan batasan kebebasan dan koersi sehubungan dengan implementasi sebuah
keputusan. Sanksi mungkin lebih dapat diterapkan pada birokrasi-birokrasi
Negara bercorak ekonomi seperti bank pemerintah, cukai, dan sejenisnya. Namun,
bagaimana halnya dengan kepolisian? Pola punishment di Negara-negara modern dan
demokratis adalah lebih rumit ketimbang di Negara-negara otoritarian.
Stabilitas suatu masyarakat
demokratis bergantung pada derajat consensus nilai yang diterapkan baik oleh
penegak hukum dan penerimaan warganegara. Misalnya, bagaimana polisi (birokrasi
Negara) menangani protes-protes yang berkembang di tengah masyarakat
demokratis. Di satu sisi merupakan hak mereka mengekspresikan keinginan atas
pemerintah, di sisi lain aparatur Negara harus tetap menjamin ketenteraman dan
ketertiban sosial. Cina dan Korea Selatan merupakan dua contoh bagaimana
dimensi liberty dan coercion ini terus menjadi dilemma.
Loyalitas dan Komitmen. Dimensi
ketiga adalah loyalitas dan komitmen. Keduanya mengacu pada seberapa besar
individu memberikan loyalitas dan komitmennya kepada bangsa. Untuk banyak kasus
Negara berkembang, juga beberapa Negara maju, orang masih mengidentifikasi
dengan basis primordialnya. Masih banyak loyalitas diberikan kepada bahasa,
keluarga, agama, kasta, atau suku bangsa, dan bukan kepada bangsa selaku
keseluruhan. Di Eropa kini, loyalitas lebih banyak ditujukan kepada Uni Eropa
bukan kepada Negara mereka masing-masing.
Dampak dari rendahnya komitmen
terhadap Negara-bangsa telah menggejala. Ini utamanya terjadi tatkala komitmen
lebih bersifat subnasional. Pertama, eksistensi perpecahan sosial cenderung
mengarahkan kerja birokrasi. Contohnya, baik Belanda maupun Swiss telah mengatur
kesepakatan aturan birokrasi seputar bahasa dan agama.
Kedua, hubungan antara
administrator dan klien (warganegara). Sehubungan dengan hubungan kelas sosial
dan rekrutmen pejabat, kita harus berikan perhatian pada komposisi etnik dalam
birokrasi. Dominasi suatu etnik dalam birokrasi mengemuka utamanya di
Negara-negara berkembang, khususnya di Negara-negara yang mewarisi birokrasi
colonial. Sebagai contoh konflik etnik di Rwanda, Burundi, Nigeria, merupakan
dampak dari dominasi sector public (termasuh angkatan bersenjata) oleh satu
kelompok etnik atas lainnya. Ini juga terjadi di Irlandia, sehubungan dengan
dominasi Protestan di Irlandia Utara yang mayoritas Katolik. Di Kanada ini
terjadi antara wilayah-wilayah yang berbahasa Inggris dengan Perancis.
Trust and Distrust. Tingkat trust
dan distrust di kalangan warganegara adalah penting. Political trust jadi
penjelasan popular dalam menguraikan sukses-sukses relative di sistem-sistem
politik yang berbeda. Perbedaan dalam level dan perkembangan kekuasaan pembuatan
keputusan di Negara-negara sat ini merefleksikan pola-pola budaya politik di
masyarakat tersebut. Pempolaan trust di budaya politik memainkan peran penting
dalam penjelasan ini.
Untuk itu perlu
dibedakan dua komponen political trust ini.
Pertama adalah komponen trust di
tingkat individual, yang dilawankan dengan sinisme personal. Variabel ini
adalah derajat di mana individu dalam masyarakat mempercayai orang lain di luar
keluarganya. Dalam surveynya, Almond dan Verba menemukan 55% orang Amerika, 49%
orang Inggris, 7% orang Italia percaya bahwa orang lain itu “bisa dipercaya.”
Pentingnya trust and distrust
dalam konteks budaya politik adalah kurangnya social trust berakibat pada
kemungkinan kondisi “mengatur/memerintah sendiri” di kalangan masyarakat. Di
masyarakat yang derajat trust-nya tinggi, aktivitas warganegara dapat
dimanfaatkan untuk mendukung antara pemerintah dan warganegara.
Tabel di atas memperlihatkan
fenomena trust warganegara atas birokrasi public di Negara masing-masing. Dapat
dilihat bahwa birokrasi yang berhubungan dengan pendidikan (Educn. System),
kepolisian (police), dan sistem hukum (legal system) beroleh nilai kepercayaan
rata-rata di atas 50%. Ini memperlihatkan kualitas kerja dan profesionalitas
kerja mereka.
0 komentar:
Posting Komentar