Kamis, 13 November 2014

diferensiasi berdasarkan etnis

Diferensiasi Sosial Berdasarkan Etnis

Menurut Alex Thio, kelompok etnis adalah sekelompok orang yang sering berbagi warisan kebudayaan tertentu. Etnis sama sekali berbeda dengan ras, karena etnis di klasifikasi bukan berdasarkan ciri-ciri fisik, namun diklasifikasi berdasarkan kriteria kebudayaan tertentu.
Misal, dalam penyebutan etnis Cina-Indonesia berarti merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kebudayaan leluhur yang sama, yakni leluhur asli yang datang dari Cina ke Indonesia dengan kepentingan tertentu (biasanya kepentingan perdagangan).
Di Indonesia, permasalahan etnis ini menjadi salah satu permasalahan yang kerapkali terjadi. Sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pribumi (secara ekstrim) seringkali sulit menerima keterbukaan, sehingga mereka justru menganggap rendah etnis-etnis pendatang yang menjadi minoritas.
Akibatnya beberapa kelompok masyarakat dari etnis pendatang yang memiliki pengalaman ‘pahit’ ini memberikan cap yang juga tidak kalah ‘menyakitkan’ pada orang-orang pribumi.
Permasalahan etnis ini diperkirakan dimulai sejak awal abad ke-18, yakni saat kedatangan VOC di Nusantara. Apakah Anda mengingat, dalam pelajaran sejarah Indonesia, Anda pernah diajarkan bahwa pada saat pendudukan VOC, mereka membagi masyarakat ke dalam empat lapisan yang disahkan dalam hukum Belanda saat itu, yakni golongan Eropa, golongan Indo, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera (pribumi) yang justru ditempatkan pada lapisan terakhir.
Bukan tidak berarti, urutan golongan ini memiliki efek stratifikasi di masyarakat, sehingga semakin rendah lapisannya, semakin tidak dihargai pula hak-haknya. Dikarenanakan oleh hal tersebut, maka masyarakat Indonesia yang marah saat itu kemudian meluncurkan stigma pada golongan-golongan diluar pribumi melalui gerakan-gerakan bawah tanah.
Pengalaman-pengalaman tersebutlah yang secara tidak sadar diwariskan hingga saat ini, sehingga diskriminasi masih mungkin terjadi di antara etnis yang terdapat di indonesia. Hal ini masih akan terus diperbaiki oleh pemerintah Indonesia melalui pendidikan dasar, dengan usaha-usaha penyadaran kepada masyarakat bahwa keberagaman di Indonesia bukanlah sumber perselisihan, melainkan merupakan kekuatan yang harus selalu dibina.
Diferensiasi Sosial Berdasarkan Agama
Agama lahir sebagai jawaban atas kegelisahan-kegelisahan manusia di dunia. Emile Durkheim menjelaskan bahwa agama dalam pandangannya adalah suatu sistem kepercayaan yang dilengkapi dengan berbagai macam ritualnya sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan yang mereka yakini.
Namun diluar pengertian tersebut, agama dan ritual-ritual yang dilakukan merupakan alat pemersatu umat beragama yang menganut masing-masing agama atau kepercayaan yang ada.
Yang dimaksud dengan agama merupakan seluruh bentuk kepercayaan yang diyakini oleh masing-masing umatnya akan membawa kehidupan mereka ke arah yang baik. Bentuk-bentuk agama ini beragam, mulai dari kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat magis, supranatural, hingga kepercayaan terhadap Tuhan.
Melalui ajaran-ajarannya, bukankah agama menanamkan kedamaian sebagai kebaikan pada umatnya? Namun yang terjadi di dunia, agama seringkali menjadi kambing hitam bagi kepentingan segelintir manusia untuk melancarkan segala keinginannya. Kesucian agama kemudian diperkeruh oleh berbagai hal (baca: kepentingan), yang kemudian memunculkan stigma yang buruk oleh agama tertentu terhadap agama lainnya.
Yang dikhawatirkan adalah, ketika suatu agama dipenuhi beragam unsur kepentingan para pemimpinnya, maka akan terjadi keyakinan semu, yang bisa saja menyesatkan, karena membiaskan keyakinan aslinya.
Oleh karena itu, alih-alih mengikuti aliran-aliran agama tertentu yang kurang diyakini, sebagai yang juga bagian dari umat beragama, sebaiknya kita membatasi diri agar tidak terjerumus ajaran yang salah dengan cara mendalami agama yang sudah kita pegang teguh sejak dilahirkan sesuai dengan ajaran yang disampaikan kitab agama masing-masing. 
Diferensiasi Sosial Berdasarkan Gender
Diferensiasi gender merupakan pembagian hak dan kewajiban yang didasari oleh pembagian peran (yang sangat dipengaruhi oleh konsep pembagian kerja dalam masyarakat kapitalis). Diferensiasi gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan dengan latar belakang budaya. Jadi perbedaan gender merupakan bentukan budaya, tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan unsur-unsur biologis.
Dari pemahaman tentang diferensiasi gender ini, peran perempuan dan laki-laki di dunia menjadi terpisahkan. Ada lapangan kerja laki-laki, maka ada lapangan kerja perempuan. Kerja laki-laki hanya diutamakan bagi pengembangan potensi laki-laki, begitupun perempuan. Laki-laki dan perempuan seolah-olah menjadi jenis manusia yang berbeda, diberikan porsi masing-masing sesuai dengan bentukan budaya.
Dari diferensiasi gender ini kemudian berkembang konsep dunia patriarkis, dimana laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan (bahkan pada kebudayaan tertentu, misal di kebudayaan India dan Timur Tengah, laki-laki dianggap lebih mulia sementara perempuan berstatus dibawahnya), maka kerapkali ada anggapan bahwa laki-laki lebih patut memimpin segala sesuatu.
Lalu lahir pula konsep-konsep femininitas dan maskulinitas pada banyak kebudayaan, yang semakin mematangkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Maka masalah yang muncul selanjutnya adalah bias gender, dimana perempuan kerapkali direndahkan dan tidak mampu menyamai potensi laki-laki.
Salah satu jalan penyelesaiannya adalah menghargai perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, namun sesungguhnya tidak dapat dibedakan dalam hakikatnya sebagai manusia.

Diferensiasi sosial lahir di berbagai kebudayaan bukan untuk melahirkan perpecahan, sebaiknya masyarakat di dunia harus memiliki kesadaran bahwa perbedaan adalah keindahan yang harus dipersatukan. Perbedaan bukanlah kompetisi tentang siapa yang unggul dan siapa yang berada di bawahnya.

0 komentar: