Diferensiasi Sosial Berdasarkan Etnis
Menurut Alex Thio, kelompok etnis adalah sekelompok orang
yang sering berbagi warisan kebudayaan tertentu. Etnis sama sekali berbeda
dengan ras, karena etnis di klasifikasi bukan berdasarkan ciri-ciri fisik,
namun diklasifikasi berdasarkan kriteria kebudayaan tertentu.
Misal, dalam penyebutan etnis Cina-Indonesia berarti merujuk
pada sekelompok orang yang memiliki kebudayaan leluhur yang sama, yakni leluhur
asli yang datang dari Cina ke Indonesia dengan kepentingan tertentu (biasanya
kepentingan perdagangan).
Di Indonesia, permasalahan etnis ini menjadi salah satu
permasalahan yang kerapkali terjadi. Sekelompok orang yang mengatasnamakan diri
mereka sebagai pribumi (secara ekstrim) seringkali sulit menerima keterbukaan,
sehingga mereka justru menganggap rendah etnis-etnis pendatang yang menjadi
minoritas.
Akibatnya beberapa kelompok masyarakat dari etnis pendatang
yang memiliki pengalaman ‘pahit’ ini memberikan cap yang juga
tidak kalah ‘menyakitkan’ pada orang-orang pribumi.
Permasalahan etnis ini diperkirakan dimulai sejak awal abad
ke-18, yakni saat kedatangan VOC di Nusantara. Apakah Anda mengingat, dalam
pelajaran sejarah Indonesia, Anda pernah diajarkan bahwa pada saat pendudukan
VOC, mereka membagi masyarakat ke dalam empat lapisan yang disahkan dalam hukum
Belanda saat itu, yakni golongan Eropa, golongan Indo, golongan Timur Asing,
dan golongan Bumiputera (pribumi) yang justru ditempatkan pada lapisan
terakhir.
Bukan tidak berarti, urutan golongan ini memiliki efek
stratifikasi di masyarakat, sehingga semakin rendah lapisannya, semakin tidak
dihargai pula hak-haknya. Dikarenanakan oleh hal tersebut, maka masyarakat
Indonesia yang marah saat itu kemudian meluncurkan stigma pada
golongan-golongan diluar pribumi melalui gerakan-gerakan bawah tanah.
Pengalaman-pengalaman tersebutlah yang secara tidak sadar
diwariskan hingga saat ini, sehingga diskriminasi masih mungkin terjadi di
antara etnis yang terdapat di indonesia. Hal ini masih akan terus diperbaiki
oleh pemerintah Indonesia melalui pendidikan dasar, dengan usaha-usaha
penyadaran kepada masyarakat bahwa keberagaman di Indonesia bukanlah sumber
perselisihan, melainkan merupakan kekuatan yang harus selalu dibina.
Diferensiasi Sosial Berdasarkan Agama
Agama lahir sebagai jawaban atas kegelisahan-kegelisahan
manusia di dunia. Emile Durkheim menjelaskan bahwa agama dalam pandangannya
adalah suatu sistem kepercayaan yang dilengkapi dengan berbagai macam ritualnya
sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan yang mereka yakini.
Namun diluar pengertian tersebut, agama dan ritual-ritual
yang dilakukan merupakan alat pemersatu umat beragama yang menganut
masing-masing agama atau kepercayaan yang ada.
Yang dimaksud dengan agama merupakan seluruh bentuk
kepercayaan yang diyakini oleh masing-masing umatnya akan membawa kehidupan
mereka ke arah yang baik. Bentuk-bentuk agama ini beragam, mulai dari
kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat magis, supranatural, hingga
kepercayaan terhadap Tuhan.
Melalui ajaran-ajarannya, bukankah agama menanamkan
kedamaian sebagai kebaikan pada umatnya? Namun yang terjadi di dunia, agama
seringkali menjadi kambing hitam bagi kepentingan segelintir manusia untuk
melancarkan segala keinginannya. Kesucian agama kemudian diperkeruh oleh
berbagai hal (baca: kepentingan), yang kemudian memunculkan stigma yang buruk
oleh agama tertentu terhadap agama lainnya.
Yang dikhawatirkan adalah, ketika suatu agama dipenuhi
beragam unsur kepentingan para pemimpinnya, maka akan terjadi keyakinan semu,
yang bisa saja menyesatkan, karena membiaskan keyakinan aslinya.
Oleh karena itu, alih-alih mengikuti aliran-aliran agama
tertentu yang kurang diyakini, sebagai yang juga bagian dari umat beragama,
sebaiknya kita membatasi diri agar tidak terjerumus ajaran yang salah dengan
cara mendalami agama yang sudah kita pegang teguh sejak dilahirkan sesuai
dengan ajaran yang disampaikan kitab agama masing-masing.
Diferensiasi Sosial Berdasarkan Gender
Diferensiasi gender merupakan pembagian hak dan kewajiban
yang didasari oleh pembagian peran (yang sangat dipengaruhi oleh konsep
pembagian kerja dalam masyarakat kapitalis). Diferensiasi gender merupakan
pembedaan antara laki-laki dan perempuan dengan latar belakang budaya. Jadi
perbedaan gender merupakan bentukan budaya, tidak ada pengaruhnya sama sekali
dengan unsur-unsur biologis.
Dari pemahaman tentang diferensiasi gender ini, peran
perempuan dan laki-laki di dunia menjadi terpisahkan. Ada lapangan kerja
laki-laki, maka ada lapangan kerja perempuan. Kerja laki-laki hanya diutamakan
bagi pengembangan potensi laki-laki, begitupun perempuan. Laki-laki dan
perempuan seolah-olah menjadi jenis manusia yang berbeda, diberikan porsi
masing-masing sesuai dengan bentukan budaya.
Dari diferensiasi gender ini kemudian berkembang konsep
dunia patriarkis, dimana laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan (bahkan
pada kebudayaan tertentu, misal di kebudayaan India dan Timur Tengah, laki-laki
dianggap lebih mulia sementara perempuan berstatus dibawahnya), maka kerapkali
ada anggapan bahwa laki-laki lebih patut memimpin segala sesuatu.
Lalu lahir pula konsep-konsep femininitas dan maskulinitas
pada banyak kebudayaan, yang semakin mematangkan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Maka masalah yang muncul selanjutnya adalah bias gender, dimana
perempuan kerapkali direndahkan dan tidak mampu menyamai potensi laki-laki.
Salah satu jalan penyelesaiannya adalah menghargai perbedaan
antara laki-laki dan perempuan secara biologis, namun sesungguhnya tidak dapat
dibedakan dalam hakikatnya sebagai manusia.
Diferensiasi sosial lahir di berbagai kebudayaan bukan untuk
melahirkan perpecahan, sebaiknya masyarakat di dunia harus memiliki kesadaran
bahwa perbedaan adalah keindahan yang harus dipersatukan. Perbedaan bukanlah
kompetisi tentang siapa yang unggul dan siapa yang berada di bawahnya.
0 komentar:
Posting Komentar