Perbedaan Sistem
Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon
.jpg)
- Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
- Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.
- Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.
- Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
- Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
- Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
- Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
- Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
- Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
- Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
4. Sistem Hukum
Indonesia
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti
Indonesia belum memiliki sistem hukumnya sendiri. Hukum-hukum yang berlaku
sesaat setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda. Kebijakan ini
semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu hukum nasional
ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga sekarang hukum warisan
kolonial masih berlaku. Hal lain yang mendasari pendapat tentang sistem hukum
Indonesia terlihat ketika terjadinya pergantian UUD/konstitusi negara selama
empat kali (UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945).
Pergantian UUD tersebut sekaligus mempengaruhi sistem hukum yang berlaku,
karena pada dasarnya berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi
negara yang bersangkutan.
Memotret sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini,
akan ditemukan 4 komponen (4 sub sistem hukum) penting yang keberadaannya
saling melengkapi satu sama lain. Keempat sub sistem tersebut masing-masing
memiliki ciri sendiri, tetapi dalam geraknya saling mempengaruhi bahkan
memperteguh satu sama lainnya.
Keempat sub sistem tersebut adalah :
1. Hukum
Nasionai,
2. Hukum
Barat,
3. Hukum
Islam,
4. Hukum
Adat/kebiasaan.
Hukum nasionai adalah hukum yang dibuat secara formal oleh
pemerintah/lembaga pembentuk UU sejak pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Hukum ini bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan sebagaimana hierarki
perundang-undangan. Sejak proklamasi kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945, era
pemerintahan orde baru yang paling banyak membuat hukum-hukum nasional.
Meskipun secara de-fakto dan de-yure Indonesia telah
merdeka, tetapi sebagian hukum yang diberlakukan masih berbau barat (terutama
Eropa). Adanya hukum-hukum warisan kolonial Belanda yang hingga sekarang masih
berlaku, membuktikan bahwa dalam struktur dan sistem hukum kita masih terdapat
“ruh” hukum barat. Hukum-hukum tersebut dalam praktiknya sangat berpengaruh
dalam usaha penyusunan hukum nasional.
Mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Karena
itu, hukum Islam mempunyai pengaruh
besar dalam penyusunan hukum-hukum nasional. Dalam UU No. I Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, isi/muatannya
banyak dipengaruhi hukum Islam. Demikian pula dengan berlakunya Kompilasi Hukum
Islam sebagai dasar penyelesaian kasus-kasus orang Islam. Meskipun demikian
dalam sistem konstitusi Indonesia, tidak dikenal bahwa Indonesia sebagai negara
Agama (Islam), meskipun urusan umat agama juga diatur oleh negara (dengan
adanya Departemen Agama). Hal ini menunjuk pada pengertian bahwa Indonesia
bukan sebagai “negara sekuler”, yaitu negara yang melepaskan urusan agama
dengan urusan pemerintah/negara.
Hukum adat/kebiasaan yang hidup dalam komunitas masyarakat,
juga mempunyai pengaruh besar dalam mewarnai berlakunya hukum di Indonesia.
Bahkan, keberadaan hukum adat/kebiasaan ini telah ditempatkan sebagai sumber
pembentukan hukum nasional. Hal ini terlihat jelas dalam politik hukum
Indonesia sebagaimana selalu termuat dalam GBHN. Hanya saja karena hukum adat
ini sangat beragam, maka upaya mencari bahan {sharing) yang dapat diberlakukan
secara nasional sangatlah tidak gampang.
Keempat sub sistem hukum tersebut di atas telah mewarnai
berlakunya hukum di Indonesia sejak bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Hanya
sa)a, banyak kalangan berpendapat bahwa hingga saat ini bangsa kita belum
menemukan format yang jelas tentang model pengembangan hukumnya. Keempat sub
sistem hukum di atas, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum
yang benar benar persuasif dan berkeadilan sosial. Oleh karenanya, banyak ahli
berpendapat bahwa usaha penyusunan hukum Nasional melalui strategi atau politik
hukum Indonesia, pembentuk UU seringkali dihadapkan pada situasi “cross road”,
di mana pembentuk UU ditempatkan pada posisi ‘bingung’. Apakah bersumber pada
hukum adat sebagaimana amanat GBHN ? Ataukah bersumber pada hukum Islam dan
hukum barat. Semua mengandung kelebihan juga kelemahan.
5. Solusi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia
Sebagai jalan keluar dari kondisi keterpurukan sistem hukum
sekarang ini adalah tetap menempuh metode klasik yang sudah sering dikedepankan
oleh para pakar dan pengamat bidang hukum seperti pembenahan institusi dan
aparatur hukum yang meliputi Mahkamah Agung,
Departemen Kehakiman dan HAM (Hakim), Kejaksaan (Jaksa), Kepolisian
(Polisi) dan Kepengacaraan (Pengacara). Pembenahan harus dilakukan secara
drastis kalau perlu mengganti semua sosok-sosok aparatur yang disebut Achmad
Ali sebagai ‘the dirty broom’. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu
didiskusikan yaitu penetapan kembali arah kebijakan dibidang hukum, apakah
masih berputar pada upaya unifikasi dan kodifikasi hukum, ataukah membiarkan
pluralisme hukum berjalan sebagaimana adanya. Diskusi ini akan menjadi menarik
bila kita hubungkan dengan bagaimana membentuk dan membangun sistem hukum
secara sistemik dan terprogram sehingga seperti kata Sunarjati Hartono kita
jangan terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, tetapi lupa dengan hal
yang lebih penting yaitu pembangunan hukum.
Dengan semakin dekatnya dimensi kuantitas dan kualitas
kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum, dan berkembangnya bidang-bidang hukum
baru yang selama ini tidak dikenal, maka sepantasnya kita merenungkan kembali
untuk memperbaharui sistem hukum kita. Apakah sistem hukum kita ini sekarang masih
sesuai dengan kondisi masyarakat kita ataukah mungkin kita mengganti sistem
hukum kita dengan mengganti UUD RI 1945 sebagaimana diusulkan oleh Prof. Harun
Al-Rasyid apakah kita mampu mengubah wajah hukum kita menjadi hukum yang lebih
partisipatoris. Ini adalah tugas berat bagi kita semua dan merupakan beban
bangsa ini untuk sama-sama menyadari dan mengilhami bahwa harus ada perbaikan
segera. Almarhum Padmo Wahyono pernah mengatakan bahwa pembuatan dan mengadaan
konsep-konsep hukum haruslah erat kaitannya dengan masyarakat dimana hukum itu
berlaku sehingga tidak menciptakan tata hukum yang ditumbuhkan berdasarkan
nalar machtloze normlogiek, tata hukum tanpa keadilan dan kewibawaan. Dengan
demikian, kita tidak mengulangi kesalahan lama yaitu merumuskan konsep hukum
dengan gaya, bentuk, isi dan jiwa asing sekadar terjemahan dari sekumpulan
istilah asing belaka.
Pembangunan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala
bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus
ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi
sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.
Pembangunan bidang hukum dilakukan tidak saja dengan jalan
meningkatkan atau menyempurnakan substansi hukum, tetapi juga menertibkan
fungsi lembaga dan institusi hukum serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak
hukum.
Singkatnya, solusi yang dapat diambil dalam usaha pembinaan
sistem hukum nasional adalah setiap bidang hukum diperlukan keterpaduan dan
keselarasan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat
pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat agar supaya pada akhirnya
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi
satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu
sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan
dan mengsinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku dalam proses
pembentukan sistem hukum nasional.
Periotas upaya yang segera dilakukan adalah peningkatan
kualitas manusia hukum in casu pembentuk, penyelenggara dan masyarakat hukum yang
didukung oleh pengadaan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan proses
internal dari setiap komponen sistemnya dan untuk menyelenggarakan proses
sistem hukum secara global.
page 2.....terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar