Sabtu, 08 November 2014

Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon

Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon

Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut :
  1. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
  2. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.
  3. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.
  4. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
  5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
  6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
  7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
  8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
  9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
  10. Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.



4.     Sistem Hukum Indonesia

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti Indonesia belum memiliki sistem hukumnya sendiri. Hukum-hukum yang berlaku sesaat setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda. Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu hukum nasional ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga sekarang hukum warisan kolonial masih berlaku. Hal lain yang mendasari pendapat tentang sistem hukum Indonesia terlihat ketika terjadinya pergantian UUD/konstitusi negara selama empat kali (UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945). Pergantian UUD tersebut sekaligus mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, karena pada dasarnya berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi negara yang bersangkutan.
Memotret sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, akan ditemukan 4 komponen (4 sub sistem hukum) penting yang keberadaannya saling melengkapi satu sama lain. Keempat sub sistem tersebut masing-masing memiliki ciri sendiri, tetapi dalam geraknya saling mempengaruhi bahkan memperteguh satu sama lainnya.
Keempat sub sistem tersebut adalah :
1.         Hukum Nasionai,
2.         Hukum Barat,
3.         Hukum Islam,
4.         Hukum Adat/kebiasaan.
Hukum nasionai adalah hukum yang dibuat secara formal oleh pemerintah/lembaga pembentuk UU sejak pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hukum ini bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan sebagaimana hierarki perundang-undangan. Sejak proklamasi kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945, era pemerintahan orde baru yang paling banyak membuat hukum-hukum nasional.
Meskipun secara de-fakto dan de-yure Indonesia telah merdeka, tetapi sebagian hukum yang diberlakukan masih berbau barat (terutama Eropa). Adanya hukum-hukum warisan kolonial Belanda yang hingga sekarang masih berlaku, membuktikan bahwa dalam struktur dan sistem hukum kita masih terdapat “ruh” hukum barat. Hukum-hukum tersebut dalam praktiknya sangat berpengaruh dalam usaha penyusunan hukum nasional.
Mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Karena itu,  hukum Islam mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum-hukum nasional. Dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, isi/muatannya banyak dipengaruhi hukum Islam. Demikian pula dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar penyelesaian kasus-kasus orang Islam. Meskipun demikian dalam sistem konstitusi Indonesia, tidak dikenal bahwa Indonesia sebagai negara Agama (Islam), meskipun urusan umat agama juga diatur oleh negara (dengan adanya Departemen Agama). Hal ini menunjuk pada pengertian bahwa Indonesia bukan sebagai “negara sekuler”, yaitu negara yang melepaskan urusan agama dengan urusan pemerintah/negara.
Hukum adat/kebiasaan yang hidup dalam komunitas masyarakat, juga mempunyai pengaruh besar dalam mewarnai berlakunya hukum di Indonesia. Bahkan, keberadaan hukum adat/kebiasaan ini telah ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional. Hal ini terlihat jelas dalam politik hukum Indonesia sebagaimana selalu termuat dalam GBHN. Hanya saja karena hukum adat ini sangat beragam, maka upaya mencari bahan {sharing) yang dapat diberlakukan secara nasional sangatlah tidak gampang.
Keempat sub sistem hukum tersebut di atas telah mewarnai berlakunya hukum di Indonesia sejak bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Hanya sa)a, banyak kalangan berpendapat bahwa hingga saat ini bangsa kita belum menemukan format yang jelas tentang model pengembangan hukumnya. Keempat sub sistem hukum di atas, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum yang benar benar persuasif dan berkeadilan sosial. Oleh karenanya, banyak ahli berpendapat bahwa usaha penyusunan hukum Nasional melalui strategi atau politik hukum Indonesia, pembentuk UU seringkali dihadapkan pada situasi “cross road”, di mana pembentuk UU ditempatkan pada posisi ‘bingung’. Apakah bersumber pada hukum adat sebagaimana amanat GBHN ? Ataukah bersumber pada hukum Islam dan hukum barat. Semua mengandung kelebihan juga kelemahan.

5. Solusi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia

Sebagai jalan keluar dari kondisi keterpurukan sistem hukum sekarang ini adalah tetap menempuh metode klasik yang sudah sering dikedepankan oleh para pakar dan pengamat bidang hukum seperti pembenahan institusi dan aparatur hukum yang meliputi Mahkamah Agung,  Departemen Kehakiman dan HAM (Hakim), Kejaksaan (Jaksa), Kepolisian (Polisi) dan Kepengacaraan (Pengacara). Pembenahan harus dilakukan secara drastis kalau perlu mengganti semua sosok-sosok aparatur yang disebut Achmad Ali sebagai ‘the dirty broom’. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu didiskusikan yaitu penetapan kembali arah kebijakan dibidang hukum, apakah masih berputar pada upaya unifikasi dan kodifikasi hukum, ataukah membiarkan pluralisme hukum berjalan sebagaimana adanya. Diskusi ini akan menjadi menarik bila kita hubungkan dengan bagaimana membentuk dan membangun sistem hukum secara sistemik dan terprogram sehingga seperti kata Sunarjati Hartono kita jangan terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, tetapi lupa dengan hal yang lebih penting yaitu pembangunan hukum.
Dengan semakin dekatnya dimensi kuantitas dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum, dan berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka sepantasnya kita merenungkan kembali untuk memperbaharui sistem hukum kita. Apakah sistem hukum kita ini sekarang masih sesuai dengan kondisi masyarakat kita ataukah mungkin kita mengganti sistem hukum kita dengan mengganti UUD RI 1945 sebagaimana diusulkan oleh Prof. Harun Al-Rasyid apakah kita mampu mengubah wajah hukum kita menjadi hukum yang lebih partisipatoris. Ini adalah tugas berat bagi kita semua dan merupakan beban bangsa ini untuk sama-sama menyadari dan mengilhami bahwa harus ada perbaikan segera. Almarhum Padmo Wahyono pernah mengatakan bahwa pembuatan dan mengadaan konsep-konsep hukum haruslah erat kaitannya dengan masyarakat dimana hukum itu berlaku sehingga tidak menciptakan tata hukum yang ditumbuhkan berdasarkan nalar machtloze normlogiek, tata hukum tanpa keadilan dan kewibawaan. Dengan demikian, kita tidak mengulangi kesalahan lama yaitu merumuskan konsep hukum dengan gaya, bentuk, isi dan jiwa asing sekadar terjemahan dari sekumpulan istilah asing belaka.
Pembangunan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.
Pembangunan bidang hukum dilakukan tidak saja dengan jalan meningkatkan atau menyempurnakan substansi hukum, tetapi juga menertibkan fungsi lembaga dan institusi hukum serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
Singkatnya, solusi yang dapat diambil dalam usaha pembinaan sistem hukum nasional adalah setiap bidang hukum diperlukan keterpaduan dan keselarasan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat agar supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan mengsinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku dalam proses pembentukan sistem hukum nasional.

Periotas upaya yang segera dilakukan adalah peningkatan kualitas manusia hukum in casu pembentuk, penyelenggara dan masyarakat hukum yang didukung oleh pengadaan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan proses internal dari setiap komponen sistemnya dan untuk menyelenggarakan proses sistem hukum secara global.

page 2.....terima kasih

0 komentar: