Rabu, 19 November 2014

interaksi sosial


Interaksi Sosial
 Interaksi soial mencoba menggali antara satu individu kepada individu lainnya, suatu kerangka yang kejujuran dan pilihan adalah menu utamanya.
Pada interaksi sosial orang tengah belajar untuk memosisikan diri, mencoba untuk mengenali kehandalan dirinya, dan juga mencoba mengenali identitas dirinya di mata orang lain.

Ahli semacam G.H. Mead telah memberikan semacam kuliah hebat kepada dunia penelitian sosial mengenai temperamen manusia, mengatasi kebohongan, mencoba mengenali pola kejujuran, dan bahkan mencoba mengenali bakat, serta pengetahuan baru dengan jalan memahami interaksi sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok yang di namakan dengan interaksionisme simbolik.
Yang tidak atau kurang dari penelitian Mead atau belakangan Herbert Blummer, adalah sisi deseptis dari individu dan kelompok. Tentu saja bila interaksi sosial itu mengarah pada sisi saling membuka diri, saling memberikan banyak hal penuh keterbukaan dan kejujuran, maka simbol-simbol yang ‘seharusnya’ yang bermakna denotatif yang bisa terjalin, sehingga muncul pengertian serta saling memosisikan diri antara satu dengan yang lainnya.
Lalu bagaimana halnya bila manusia atau individu melakukan negosiasi struktural satu dengan yang lainnya. Mencoba menuturkan pengalaman yang mendrive orang agar percaya sepenuhnya meyakini, hingga orang atau suatu kelompok menjadi solid dan terdorong mendukung gagasan si individu. Itulah yang dinamakan interaksi sosial berdasarkan mitos simbolik.
Manusia dipersenjatai dengan bahasa, dan kebanyakan bahasa adalah bersifat konotatif dan mitos, bersifat makna yang sementara, manusia memainkan mitos-mitos demi keuntungan ekonomisnya. Dan manusia melakukan itu dengan menggunakan identitas sosialnya, bukan identitas riilnya, dalam mencapai tujuan itu, yaitu untuk melakukan interaksi sosial.
Sebelum Interaksi Sosial, Ada Interaksi Inner Self
Identitas kedua atau yang kenal sebagai identitas sosial adalah nama, sosok dengan nama yang diberikan oleh orang banyak, semacam julukan, atau nickname yang diberikan kepada seseorang, termasuk nama dari orang tua.
Padahal sejatinya, ketika seorang manusia tumbuh dia tidak lagi mau menjabat sosok yang dikenali orang kepadanya, dia rebel, dia mencoba berontak lantas mencari tahu siapa dirinya sebenarnya, siapa namanya yang sebenarnya. Yang tidak perlu bernegosiasi dengan orang. Proses di bawah ini menggambarkan apa yang tengah terjadi ketika manusia mendapatkan identitas, bukan dari interaksi sosial, melainkan proses inner self.
Interaksi sosial dalam konteks film Matrix. Di dalamnya terdapat tokoh protagonis bernama Neo – yang merupakan nama lain dari nama sosial bernama Mr. Anderson. Neo adalah nama avatar dari John Anderson. Nama ‘inner self’ seorang John Anderson. Nama Neo, kelak berkenalan dengan nama Morpheus, atau nama Triniti. Semua adalah nama yang diciptakan oleh masing-masing karakter dan bermakna pemberontakan satu dengan yang lainnya.
Mereka memberontak terhadap struktur sosial yang ada yang lebih mengajukan nama pribadi yang lepas dari nama penamaan orang tua. Mereka tengah melipatgandakan diri, sebagai buah dari interaksi sosial. Karena merasa tidak nyaman dengan nama sematan orang tuanya. Tidak nyaman dan sama sekali tidak dirasakan dan dipikirkan olehnya.
Baginya nama sosial hanyalah untuk dipakai dalam saluran resmi dan formal. Sementara itu bagi yang ingin mengenal dekat dirinya, ingin masuk ke dalam hatinya, harus menggunakan nama inner selfnya. Ya manusia tengah melipatgandakan diri. Melipatgandakan diri tanpa kehadiran aksi sosial dirinya. Dan itu terbentuk dalam alam kesadaran ketika melakukan interaksi sosial.
Melalui proses-proses yang dijelaskan dalam teori-teori Freud sebagai motif pengalihan. Dalam diri manusia pada akhirnya akan terbentuk proses intrakomunikasi, yang sering disebut sebagai refleksi. Proses ini juga menjadi bagian dari interaksi sosial.
Interaksi Sosial Bukan Diri Sosial yang Murni
Mengulang pernyataan di atas. Jika proses interaksi sosial itu refleksi dijelaskan sebagai perumusan persepsi, intuisi, sensor inderawi, bahkan sampai kepada isi dari melamun, maka sebenarnya proses itu ditujukan kepada diri yang lain, dan bukan diri sosial? Seperti : “Aku takut”, “Mereka tidak suka aku”, “Apa yang mereka pikirkan? ” Semua kata-kata tersebut kita ucapkan kepada identitas asli dalam dirinya.
Dalam Communication: The Social Matrix of Psychiatry, Jurgen Ruesch dan Gregory Bateson menyatakan bahwa intrapersonal communication tidak lebih sebagai kasus spesial tentang interpersonal communication, dalam artian "dialog yang mendasari semua perwacanaan." Artinya secara sederhana saja bahwa proses intra sosial dalam interaksi sosial mendasari proses intersosial.
Proses inner self mendasari adanya interaksi sosial. Dan pada interaksi sosial yang akan selalu tampak dari Anda adalah manusia deceptis, manusia penuh hati-hati dan rasa curiga pada sesamanya. Namun itu wajar saja, karena selalu ada waktu dalam interaksi sosial masing-masing pihak akan masuk kepada proses penilaian antara sisi formal seseorang dengan sisi intimnya.
Sisi formal seseorang yang ternyata ada seorang pria gagah di satu sisi suaranya berat dan kuat, dan dia petinju hebat, mantan preman, dan bernama sangat macho. Namun ternyata, kepribadiannya berubah ketika ia berada di rumah, di lingkungan yang lebih kecil. Itu merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dilakukannya, agar kehidupan sosialnya berjaln seimbang.
Interaksi Sosial Menghasilkan Habitus
Interaksi sosial sebagaimana yang tergambarkan dalam wacana Mead tentang interaksi simbolik mendapatkan acuan pula, dari bidang pemikiran lainnya, semacam strukturalis fungsionalisme, hingga teori Marx di Eropa. Wacananya bahkan berkembang dari proses individu kepada proses yang lebih besar lagi, yakni habitus.
Suatu kondisi yang menggambarkan keadaan individu yang benar-benar sudah menjadi bagian dari proyeksi budayanya sendiri. Dia tidak asli lagi, semua alam pemikirannya adalah hasil dari fabrifikasi kultur yang menaunginya dan memang kultur itu sedemikian kuat dan hebat, habitus adalah masyakarat yang terdidik, namun bukan terdidik secara birokratis di lembaga pendidikan namun terdidik secara sosial. Habitus lahir dari proses interaksi sosial.
Perlawanan para habitus ini muncul ketika suatu kultur birokrasi yang sama sekali berbeda dan buruk di mata dirinya hendak membawakan semacam pemahaman baru. Pemahaman birokratis vs pemahaman tradisionalis. Kadang, interaksi sosial juga melahirkan sebuah pergolakan antara apa yang tengah terjadi di masyarakat dan di dalam diri kita.
Pierre Bourdieu memasarkan gagasan Marcell Mau: Habitus. Seolah kompromis, habitus atau disposisi mental sosial dibentuk oleh seseorang di dalam identitas sosialnya untuk bernegosiasi dengan kondisi obyektif yang terjadi. Dengan kata lain, untuk kegiatan interaksi sosialnya.
Dalam Habitus, perangai dibentuk dari pelaziman individu bukan negara. Artinya, proses struktur sosial sebenarnya terbentuk dari pengalaman pribadi serta interaksi sosial dan bukan pendidikan lewat kurikulum sekolah, yang membentuk jiwa dan mental anak-anak adalah guru dan bukan kurikulum.
Guru merupakan gerbang terakhir dari tradisionalisme manusia. Bagi Habitus, guru adalah sang pemimpin besar, dan bukan politisi. Masyarakat terdidik sebagai cermin munculnya kelompok habitus ini tumbuh dari interaksi sosial yang sehat. Mereka saling bicara bertukar saling membagi pengalaman secara egaliter dalam piranti yang tidak disensor.
Maka tidak heran Habitus memberontak terhadap birokrasi yang melupakan sisi sosialis, terhadap interaksi sosial yang dipaksakan oleh kebutuhan, karena setiap orang berhak memiliki prinsip nilai atas dasar kebersamaan dan jangan sampai didiktekan oleh negara. Dari titik ini barulah jelas masa lalu yang ditandai oleh kekuasaan negara kepada rakyatnya boleh dilupakan.

Tidak heran Bourdieu menjadi pahlawan publik, dan Perancis. Negara tempatnya bernaung berada dalam bahaya ledakan sosial setiap saatnya. Tidak ada disiplin, interaksi sosial, dan humanisme menang terang-terangan. Barangkali habituslah warga negara ideal dan suportif pada situasi negara yang dipimpin oleh mereka yang bukan penipu dan senang memaksakan kehendak.

terima kasih ........

0 komentar: