Kamis, 06 November 2014

kebijakan pembentuk perundang-undangan

Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan

Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundang-undangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif (sebagai badan pembentuk perundang-undangan) sebagaimana DPR dan Pemerintah (Presiden).
Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang menyatakan bahwa:
Hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum”.
Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917 KUHPerdata (B.W.) bahwa
Kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.
Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan Hukum Tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 juga menjelaskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kata “menggali” biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, bahwa Pengadilan diberi wewenang oleh tata hukum untuk memutus perkara berdasarkan atas kebijaksanaannya sendiri, untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk mengabulkan atau menolak gugatan penggugat, untuk menjatuhkan atau menolak menjatuhkan sanksi kepada terdakwa atau tergugat meskipun tidak ada suatu norma umum yang dilanggar oleh terdakwa atau tergugat, asalkan saja Pengadilan memandang bahwa tiadanya norma umum yang menetapkan kewajiban hukum terdakwa atau tergugat, yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum atau yang digugat oleh Penggugat sebagai tidak memuaskan, tidak patut atau tidak adil. Itu berarti, hanya pengadilan yang diberikan wewenang untuk membuat norma hukum subtantif, yang bersifat memuaskan, adil dan patut bagi kasus konkrit. Oleh karena itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat undang-undang.
Legislatif menyadari kemungkinan bahwa norma umum yang dibuat mungkin dalam beberapa kasus menjadi tidak adil atau menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan. Hal ini karena legislator tidak dapat melihat semua kasus konkret yang mungkin dapat terjadi. Maka dia kemudian mengotorisasi organ pelaksana hukum tidak untuk mengaplikasikan norma umum yang dibuat tersebut, tetapi untuk membuat suatu norma baru dalam kasus pelaksanaan norma umum yang dibuat legislatif tersebut akan memiliki hasil yang tidak memuaskan.
Kesulitannya adalah bahwa tidak mungkin menentukan sebelumnya kasus-kasus yang akan menjadikan hakim bertindak sebagai legislator. Jika legislator dapat mengetahui kasusnya, maka dia akan dapat memformulasikan norma umum sehingga mengotorisasi tindakan hakim sebagai legislatif adalah berlebih-lebihan.
Formula “Hakim diotorisasi untuk bertindak sebagai legislatif jika aplikasi norma umum yang ada terlihat tidak adil” memberikan terlalu banyak keleluasaan pada Hakim karena mungkin hakim menemukan banyak kasus di mana norma yang dibuat legislator tidak cocok. Formula tersebut berarti menurunkan sebagian besar legislator menjadi urusan Hakim. Inilah alasan mengapa legislator menggunakan fiksi “kekosongan hukum”.

Fiksi ini membatasi otorisasi hakim dengan dua jalan, yaitu:

Pertama, membatasi otorisasi kepada kasus di mana kewajiban yang diklaim oleh penggugat telah dilanggar oleh tergugat, tidak ditentukan dalam norma umum.

Kedua adalah pada kasus dimana aplikasi hukum yang ada akan menjadi tidak adil atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum itu sendiri. Teori tentang kekosongan hukum adalah suatu fiksi karena selalu mungkin secara logis, walaupun kadang-kadang tidak cocok, untuk mengaplikasikan tata hukum yang ada pada saat keputusan yudisial dibuat.

Sehingga fungsi Pengadilan tidak hanya sekedar mencari dan menemukan hukum yang telah ada mendahului keputusan-keputusannya, Pengadilan tidak hanya membacakan hukum yang telah ada dan selesai sebelum pembacaannya. Norma khusus dari keputusan Pengadilan merupakan individualisasi dan konkritisasi norma umum dan abstrak yang sangat diperlukan.
Terhadap paham Tyipis Logicisitis yang menganggap hakim adalah corong undang-undang dibantah oleh beberapa pakar. Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa pandangan tersebut telah ‘ditinggalkan’ semenjak tahun 1850. Perhatian setelah dekade tersebut ditujukan kepada penemuan hukum yang lebih mandiri oleh hakim. Hakim tidak lagi dianggap sebagai corong undang-undang. Pandangan baru tersebut dikenal sebagai paham materiil yuridis atau otonom dengan tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes dan Paul Scholten.
Pandangan Holmes dan Scholten didasari kepada pemahaman bahwa undang-undang tidak mungkin lengkap sebagai sebuah tahap dalam pembentukan hukum sehingga harus dicari pelengkapnya dalam dunia praktis melalui penemuan hukum oleh hakim.

Penguatan terhadap wilayah peradilan tersebut bukan berarti hakim dapat bertindak sesuka hatinya. Peradilan tetap harus menjadi corong keadilan rakyat dengan meletakan supremacy kebenaran dan keadilan di puncak pemikiran para hakim.

page 2 ............terima kasih

0 komentar: