Kebijakan/prakarsa
dari Pembentuk Perundang-undangan
.jpg)
Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang
berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak
yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. (Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan
berlaku sebagai peraturan umum”.
Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917
KUHPerdata (B.W.) bahwa
“Kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang
hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.
Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara, pertama kali harus menggunakan Hukum Tertulis sebagai dasar
putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan
permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan
sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi,
dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 juga
menjelaskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kata “menggali” biasanya diartikan bahwa hukumnya
sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk
diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus
berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim
harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar
sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, bahwa
Pengadilan diberi wewenang oleh tata hukum untuk memutus perkara berdasarkan
atas kebijaksanaannya sendiri, untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk
mengabulkan atau menolak gugatan penggugat, untuk menjatuhkan atau menolak
menjatuhkan sanksi kepada terdakwa atau tergugat meskipun tidak ada suatu norma
umum yang dilanggar oleh terdakwa atau tergugat, asalkan saja Pengadilan
memandang bahwa tiadanya norma umum yang menetapkan kewajiban hukum terdakwa
atau tergugat, yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum atau yang digugat oleh
Penggugat sebagai tidak memuaskan, tidak patut atau tidak adil. Itu berarti,
hanya pengadilan yang diberikan wewenang untuk membuat norma hukum subtantif,
yang bersifat memuaskan, adil dan patut bagi kasus konkrit. Oleh karena itu,
pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat undang-undang.
Legislatif menyadari kemungkinan bahwa norma umum yang
dibuat mungkin dalam beberapa kasus menjadi tidak adil atau menghasilkan
sesuatu yang tidak diharapkan. Hal ini karena legislator tidak dapat melihat
semua kasus konkret yang mungkin dapat terjadi. Maka dia kemudian mengotorisasi
organ pelaksana hukum tidak untuk mengaplikasikan norma umum yang dibuat
tersebut, tetapi untuk membuat suatu norma baru dalam kasus pelaksanaan norma
umum yang dibuat legislatif tersebut akan memiliki hasil yang tidak memuaskan.
Kesulitannya adalah bahwa tidak mungkin menentukan
sebelumnya kasus-kasus yang akan menjadikan hakim bertindak sebagai legislator.
Jika legislator dapat mengetahui kasusnya, maka dia akan dapat memformulasikan
norma umum sehingga mengotorisasi tindakan hakim sebagai legislatif adalah
berlebih-lebihan.
Formula “Hakim diotorisasi untuk bertindak sebagai
legislatif jika aplikasi norma umum yang ada terlihat tidak adil”
memberikan terlalu banyak keleluasaan pada Hakim karena mungkin hakim menemukan
banyak kasus di mana norma yang dibuat legislator tidak cocok. Formula tersebut
berarti menurunkan sebagian besar legislator menjadi urusan Hakim. Inilah
alasan mengapa legislator menggunakan fiksi “kekosongan hukum”.
Fiksi ini membatasi otorisasi hakim dengan dua jalan,
yaitu:
Pertama, membatasi otorisasi kepada kasus di mana kewajiban
yang diklaim oleh penggugat telah dilanggar oleh tergugat, tidak ditentukan
dalam norma umum.
Kedua adalah pada kasus dimana aplikasi hukum yang ada akan
menjadi tidak adil atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum itu
sendiri. Teori tentang kekosongan hukum adalah suatu fiksi karena selalu
mungkin secara logis, walaupun kadang-kadang tidak cocok, untuk mengaplikasikan
tata hukum yang ada pada saat keputusan yudisial dibuat.
Sehingga fungsi Pengadilan tidak hanya sekedar mencari
dan menemukan hukum yang telah ada mendahului keputusan-keputusannya,
Pengadilan tidak hanya membacakan hukum yang telah ada dan selesai sebelum
pembacaannya. Norma khusus dari keputusan Pengadilan merupakan individualisasi
dan konkritisasi norma umum dan abstrak yang sangat diperlukan.
Terhadap paham Tyipis Logicisitis yang
menganggap hakim adalah corong undang-undang dibantah oleh beberapa pakar.
Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa pandangan tersebut telah ‘ditinggalkan’
semenjak tahun 1850. Perhatian setelah dekade tersebut
ditujukan kepada penemuan hukum yang lebih mandiri oleh hakim. Hakim tidak lagi
dianggap sebagai corong undang-undang. Pandangan baru tersebut dikenal sebagai
paham materiil yuridis atau otonom dengan tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel
Holmes dan Paul Scholten.
Pandangan Holmes dan Scholten didasari kepada
pemahaman bahwa undang-undang tidak mungkin lengkap sebagai sebuah tahap dalam
pembentukan hukum sehingga harus dicari pelengkapnya dalam dunia praktis
melalui penemuan hukum oleh hakim.
Penguatan terhadap wilayah peradilan tersebut bukan
berarti hakim dapat bertindak sesuka hatinya. Peradilan tetap harus menjadi
corong keadilan rakyat dengan meletakan supremacy kebenaran dan keadilan di
puncak pemikiran para hakim.
page 2 ............terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar