Kamis, 13 November 2014

Peranan Politik dalam Pembentukan Hukum

Peranan Politik dalam Pembentukan Hukum dan Hubungannya dengan Politik Hukum

Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasiional oleh pemerintah mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuat dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperative atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
            Variabel politik dipecah atas konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter, sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif atau ortodoks.
I.                   Konfigurasi Politik Demokratis dan Otoriter
Istilah demokrasi merupakan istilah ambiguous, pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai negara yang mengklaim diri sendiri sebagai negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda. Amerika Serikat yang liberal dan bekas negara Uni Soviet yang totaliter sama-sama mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Kerapkali terjadi manipulasi terhadap konsep demokrasi sehingga pemaksaan, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di negar komunis dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap harus dianggap demokratis karena ditujukan untuk menuelamatkan rakyat dalam menyongsong masa depannya. Jadi setiap tindakan yang dapat diberi alasan untuk menyelamatkan rakyat secara kolektif di negar komunis dianggap demokratis, sesuatu yang sangat berlawanan dengan negara-negara yang menganut demokrasi liberal.
Dikatakan bersifat relative karena kenyataannya ada perbedaan di setiap negara maupun setiap perkembangannya, sehingga demokrasi maupun totaliterisme atau otoriterisme tidaklah selalu soma antara yang ada di suatu engara dan di negara-negara lain. Ini menunjukkan tidak ada suatu negara yang sepenuhnya demokratis, dan tidak ada suatu negara yang sepenuhnya otoriter. Carter dan Herz mencirikan kedua sistem tersebut dalam gambaran yang kotradiktif. Dikatakannya, demokrasi liberal secara institusional ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif. Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menuntut keluwesan, dan kesediaan untuk bereksperimen. Pembatasan terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa dan hanya melaksanakan wewenangnya sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang.
Sebaliknya totaliterisme, menurut Carter dan Herz, dintandai oleh dorongan dengara untuk memaksakan persatuan, usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal. Di balik tindakan yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan tertentu yang menurut mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah. Cirri menonjol totaliterisme modern adalah tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial yang harus dilenyapkan, satu masyarakat yang homogeny dan seragam adalah keadaan dari kejadian-kejadian yang sangat diinginkan. Ide semacam ini berbahaya karena mengandung premis-premis sosiologis yang keliru.
Dari gambaran teoretis yang abstrak tentang kedua ujung spectrum politik tersebut sebenarnya secara empiris tidak ada satu negara pun yang mengikuti bentuk teoretisnya secara penuh, artinya di dalamnya sering banyak variasi. Di dalam negara demokrasi misalnya sering timbul gejala-gejala otoriterisme berkenaan dengan seringnya pemerintah melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis. Pemerintah tidak bersifat mewakili secara sama dalam proses politiknya atau bertindak intervensif bagi kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu secara aktif memainkan berbagai peran dalam kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial. Apalagi banyak asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering diperlambat oleh sistem politik yang pluralistik (demokratis).
Begitu juga negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara dengan rezim otoritarian, tidaklah dapat diidentifikasi secara tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan yang lain. Yang jelas tidak ada rezim otoritarian yang dianggap monolitik seperti tiadanya kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan demokrasi dapat dianggap seperti itu. Dengan demikian, tampilan konfigurasi politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis kontinum yang menghubungkan dua kutub dalam spectrum politik, yaitu kutub demokrasi dan kutub otoriter. Ini berarti tidak ada negara yang memiliki konfigurasi yang betul-betul demokratis atau otoriter, tetapi setiap negara dapat diidentifikasi berdasarkan kedekatannya pada salah satu ujung itu. Perjalanan konfigurasi politik melalui garis kontinum dari satu ujung ke ujung lainnya sama dengan perjalanan peran negara dalam proses ekonomi yang serba campuran. Artinya, tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya bersifat laizzes-faire atau sepenuhnya bersifat “hegemonik”.
Dapat disimpulkan, konfigurasi politik suatu negara tidak dapat dipandang secara “hitam-putih” untuk disebut demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya penyebutan mutlak itu akan terasa jika pilihan suatu negara atas suatu konfigurasi politik dikaitkan dengan tujuan atau keperluan pragmatisnya. Adakalanya otoriterisme yang dianut oleh suatu negara didasarkan pada alasan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga kepentingan rakyat menjadi perhatian yang utama. Tujuan negara otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan tujuan negara demokrasi dalam melindungi kepentingan rakyatnya. Di negara-negara yang menganut wawasan welfare state misalnya, sangat jelas tujuan utamanya adalah membangun kesejahteraan masyarakat, namun dengan pilihan strategi yang dari standar konvensional tidaklah demokratis.

Betapapun, untuk keperluan metodologis, studi ini memilih dua ujung konfigurasi politk yang dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa pemberian kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnya netral. Artinya dilepaskan dari penilaian tentang baik dan jelek yang memang sulit dietempatkan secara konsisten di dalam suatu konfigurasi politik.


0 komentar: