Peranan Politik dalam Pembentukan Hukum dan Hubungannya dengan
Politik Hukum
Politik
hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal
policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasiional oleh pemerintah
mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan
cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuat dan penegakan
hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang
bersifat imperative atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen,
melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan
pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Variabel politik dipecah atas konfigurasi politik
demokratis dan konfigurasi politik otoriter, sedangkan produk hukum dibedakan
atas produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter
konservatif atau ortodoks.
I.
Konfigurasi
Politik Demokratis dan Otoriter
Istilah
demokrasi merupakan istilah ambiguous, pengertiannya tidak tunggal sehingga
berbagai negara yang mengklaim diri sendiri sebagai negara demokrasi telah
menempuh rute-rute yang berbeda. Amerika Serikat yang liberal dan bekas negara
Uni Soviet yang totaliter sama-sama mengklaim diri sebagai negara demokrasi.
Kerapkali terjadi manipulasi terhadap konsep demokrasi sehingga pemaksaan,
penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di negar komunis
dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap harus dianggap demokratis karena
ditujukan untuk menuelamatkan rakyat dalam menyongsong masa depannya. Jadi
setiap tindakan yang dapat diberi alasan untuk menyelamatkan rakyat secara
kolektif di negar komunis dianggap demokratis, sesuatu yang sangat berlawanan
dengan negara-negara yang menganut demokrasi liberal.
Dikatakan
bersifat relative karena kenyataannya ada perbedaan di setiap negara maupun
setiap perkembangannya, sehingga demokrasi maupun totaliterisme atau
otoriterisme tidaklah selalu soma antara yang ada di suatu engara dan di
negara-negara lain. Ini menunjukkan tidak ada suatu negara yang sepenuhnya
demokratis, dan tidak ada suatu negara yang sepenuhnya otoriter. Carter dan
Herz mencirikan kedua sistem tersebut dalam gambaran yang kotradiktif.
Dikatakannya, demokrasi liberal secara institusional ditandai oleh adanya
pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian
pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat
yang bekerja efektif. Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang
berlawanan, menuntut keluwesan, dan kesediaan untuk bereksperimen. Pembatasan
terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur
dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai
pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa dan hanya
melaksanakan wewenangnya sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang.
Sebaliknya
totaliterisme, menurut Carter dan Herz, dintandai oleh dorongan dengara untuk
memaksakan persatuan, usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan
yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan
pemerintah, dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite
yang kekal. Di balik tindakan yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan
atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan tertentu yang menurut mereka
sudah ditakdirkan oleh sejarah. Cirri menonjol totaliterisme modern adalah
tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial yang harus dilenyapkan, satu
masyarakat yang homogeny dan seragam adalah keadaan dari kejadian-kejadian yang
sangat diinginkan. Ide semacam ini berbahaya karena mengandung premis-premis
sosiologis yang keliru.
Dari
gambaran teoretis yang abstrak tentang kedua ujung spectrum politik tersebut
sebenarnya secara empiris tidak ada satu negara pun yang mengikuti bentuk
teoretisnya secara penuh, artinya di dalamnya sering banyak variasi. Di dalam
negara demokrasi misalnya sering timbul gejala-gejala otoriterisme berkenaan
dengan seringnya pemerintah melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis.
Pemerintah tidak bersifat mewakili secara sama dalam proses politiknya atau
bertindak intervensif bagi kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan
tertentu secara aktif memainkan berbagai peran dalam kehidupan ekonomi, budaya,
dan sosial. Apalagi banyak asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering
diperlambat oleh sistem politik yang pluralistik (demokratis).
Begitu
juga negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara dengan rezim otoritarian,
tidaklah dapat diidentifikasi secara tunggal karena tidak dapat disamakan
antara yang satu dengan yang lain. Yang jelas tidak ada rezim otoritarian yang
dianggap monolitik seperti tiadanya kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan
demokrasi dapat dianggap seperti itu. Dengan demikian, tampilan konfigurasi
politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis kontinum yang
menghubungkan dua kutub dalam spectrum politik, yaitu kutub demokrasi dan kutub
otoriter. Ini berarti tidak ada negara yang memiliki konfigurasi yang
betul-betul demokratis atau otoriter, tetapi setiap negara dapat diidentifikasi
berdasarkan kedekatannya pada salah satu ujung itu. Perjalanan konfigurasi
politik melalui garis kontinum dari satu ujung ke ujung lainnya sama dengan
perjalanan peran negara dalam proses ekonomi yang serba campuran. Artinya,
tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya bersifat laizzes-faire atau
sepenuhnya bersifat “hegemonik”.
Dapat
disimpulkan, konfigurasi politik suatu negara tidak dapat dipandang secara
“hitam-putih” untuk disebut demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya
penyebutan mutlak itu akan terasa jika pilihan suatu negara atas suatu
konfigurasi politik dikaitkan dengan tujuan atau keperluan pragmatisnya.
Adakalanya otoriterisme yang dianut oleh suatu negara didasarkan pada alasan
untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga kepentingan rakyat menjadi
perhatian yang utama. Tujuan negara otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan
tujuan negara demokrasi dalam melindungi kepentingan rakyatnya. Di
negara-negara yang menganut wawasan welfare state misalnya, sangat jelas tujuan
utamanya adalah membangun kesejahteraan masyarakat, namun dengan pilihan
strategi yang dari standar konvensional tidaklah demokratis.
Betapapun,
untuk keperluan metodologis, studi ini memilih dua ujung konfigurasi politk
yang dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa pemberian
kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnya netral. Artinya dilepaskan
dari penilaian tentang baik dan jelek yang memang sulit dietempatkan secara
konsisten di dalam suatu konfigurasi politik.
0 komentar:
Posting Komentar