KEKOSONGAN HUKUM
1. Definisi
Kekosongan Hukum
Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara
obyektif berarti undang-undang atau hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure
Belli ac Pacis (1625)” menyatakan bahwa “hukum adalah peraturan tentang
perbuatan moral yang menjamin keadilan”.
Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van
Ned. Indie” mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan
hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa
henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya”.
Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum”
memberikan pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan
peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah,
larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud
untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”.
Dengan peraturan-peraturan hidup disini dimaksudkan
baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan
kedua tahun 1989, “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya)
kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum
(Bld) yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”.
Dari penjelasan diatas maka secara sempit “kekosongan
hukum” dapat diartikan sebagai “suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan
perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam
masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat
dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan”.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik
oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama,
sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka
hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah.
Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang
terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun
telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau
bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan
bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal
atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan
masyarakat”.
Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan
(hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu
merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah
atau mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu
sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian
hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan
(rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai
suatu sistem.
Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum
jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan bahwa hukum adalah suatu
tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum (legal
order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi
tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. Suatu aturan menetapkan
pembunuhan sebagai delik terkait dengan tindakan manusia dengan kematian
sebagai hasilnya. Kematian bukan merupakan tindakan, tetapi kondisi fisiologis.
Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukan
tindakan tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi
tertentu. Kondisi tersebut tidak harus berupa tindakan manusia, tetapi dapat
juga berupa suatu kondisi. Namun, kondisi tersebut baru dapat masuk dalam suatu
aturan jika terkait dengan tindakan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai
akibat.
Perbedaan pengaturan apakah suatu perbuatan, suatu
kondisi yang dihasilkan, ataukah keduanya memiliki pengaruh terhadap
pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut menentukan unsur-unsur suatu delik.
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia
seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat.
Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau
aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang
ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan
perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi
titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam kehidupan bermasyarakat
memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat
yang harmonis dan teratur.
Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat
sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Menurut Hans Kelsen, bahwa otoritas untuk memberikan
suatu sanksi yang tidak ditentukan oleh norma hukum yang sudah ada sering
dikatakan diberikan secara tidak langsung, yaitu melalui suatu fiksi. Fiksi ini
adalah bahwa tata hukum memiliki suatu kekosongan (gaps), artinya bahwa
hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkret karena tidak ada
norma umum yang sesuai dengan kasus ini. Ide ini secara logis berarti tidak
mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada kasus konkret karena tidak
adanya premis yang dibutuhkan.
Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang
memberikan suatu kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan
masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus
berkembang seiring kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut
menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan
dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu
peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang
berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.
2. Akibat yang timbul
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan
hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat
terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian
peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat
pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak
diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti
bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam
masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam
masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur
hal-hal atau keadaan yang terjadi.
3. Solusi
apabila terjadi kekosongan hukum
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa
perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai
panduan bersikap tindak masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dan ajeg dapat menjadi ukuran yang
pasti di masyarakat, namun hukum yang berjalan ditempat pada kenyataannya akan
menjadi hukum yang usang yang tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat yang
acapkali menimbulkan kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan)
terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya
belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau
sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel
dan mampu mengikuti perkembangan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar