Kamis, 06 November 2014

kekosongan hukum ,solusi,dan akibat yang ditimbulkan

KEKOSONGAN HUKUM


1. Definisi Kekosongan Hukum

Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan”.
Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie” mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya”.
Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum” memberikan pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”.
Dengan peraturan-peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989, “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”.
Dari penjelasan diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai “suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih  tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan”.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”.
Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.
Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. Suatu aturan menetapkan pembunuhan sebagai delik terkait dengan tindakan manusia dengan kematian sebagai hasilnya. Kematian bukan merupakan tindakan, tetapi kondisi fisiologis.
Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukan tindakan tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi tertentu. Kondisi tersebut tidak harus berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga berupa suatu kondisi. Namun, kondisi tersebut baru dapat masuk dalam suatu aturan jika terkait dengan tindakan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai akibat.
Perbedaan pengaturan apakah suatu perbuatan, suatu kondisi yang dihasilkan, ataukah keduanya memiliki pengaruh terhadap pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut menentukan unsur-unsur suatu delik.
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur.
Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Menurut Hans Kelsen, bahwa otoritas untuk memberikan suatu sanksi yang tidak ditentukan oleh norma hukum yang sudah ada sering dikatakan diberikan secara tidak langsung, yaitu melalui suatu fiksi. Fiksi ini adalah bahwa tata hukum memiliki suatu kekosongan (gaps), artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkret karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus ini. Ide ini secara logis berarti tidak mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada kasus konkret karena tidak adanya premis yang dibutuhkan.
Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan suatu kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.

2. Akibat yang timbul
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi.

3.  Solusi apabila terjadi kekosongan hukum

Sebagaimana telah diungkapkan bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dan ajeg dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang berjalan ditempat pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang yang tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat yang acapkali menimbulkan kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan) terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan tersebut.

0 komentar: