Masyarakat Multikultural Indonesia
Tidak dipungkiri, Indonesia negara dengan kultur
beraneka ragam. Bahkan, Indonesia – oleh Parsudi Suparlan – tegas dimasukkan ke
dalam kategori plural society atau masyarakat majemuk dengan sejumlah dimensi
negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur) oleh kolonial Belanda
direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal
dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut
kategori suku, agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan
dilakukan dengan cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan
satu sama lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak
dalam rentetan panjang konflik horisontal di Indonesia.
Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih
bijaksana dalam mengatasi perbedaan tajam antar komunitas dalam masyarakat.
Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk yaitu
multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut paradigma sebab merupakan
cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku, agama, ras, dan
antargolongan dalam sebuah kesatuan politik. Multikulturalisme adalah gagasan
politik yang hendak mengubah gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke
arah gagasan masyarakat multikultural yang konsensual.
Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah kami sertakan
terlebih dahulu dua definisi multikulturalisme. Definisi pertama kami ambil
dari Tariq Modood sementara yang kedua dari Steven Bochner. Tariq Modood
mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan politik, yaitu:
the recognition of group difference within the public sphere of laws,
policies, democratic discourses and the terms of a shared citizenship and
national identity --- while sharing something in common with the political
movements
Modood berpendapat keragaman primordial harus tetap
diakui eksistensinya. Namun, perbedaan tersebut hendaklah jangan diterjemahkan
ke dalam bentuk dominasi satu terhadap lain juga bukan dalam bentuk separatisme
politik. Keragaman – lewat prosedur politik – diakui dalam kehidupan publik. Ia
terjelma dalam struktur hukum, kebijakan, dan wacana politik. Titik tekan yang
mempertemukan semua keragaman adalah kewarganegaraan dan identitas nasional
suatu negara. Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara hubungan
antar komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.
Selain dari Modood, definisi multikulturalisme lainnya
diajukan Steven Bochner yang menekankan keunikan hubungan dalam sebuah
masyarakat multikultural:
refers to social arrangement characterized by cultural diversity. In
practice, this mean non-trivial interpersonal contact between individuals and
groups who differ in their ethnicity. In multicultural societies, such contact
occurs within a climate of tolerance and mutual respect. A distinction is drawn
between the process of multicultural contact, which include the behaviors,
attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the institutional
structures which characterize and either support of hinder benign intercultural
contact, which included legislation, government policy, and employment
practices.
Bochner lebih menekankan pendekatan interaksi-simbolik
dalam lingkup sosial psikologis tinimbang politik. Baginya, multikulturalisme
merupakan kesepakatan sosial yang dikarakteristikkan keragaman kultural.
Masing-masing entitas yang berbeda dimensi kulturalnya melakukan kontak satu
sama lain berdasarkan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Dasar
aturan setiap kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan pemerintah, bahkan
di dalam praktek keseharian dunia pekerjaan (peraturan-peraturan organisasi).
Konsep masyarakat majemuk, seiring perkembangan
demokratisasi pada konteks global, semakin kehilangan signifikansinya karena
efek dominasi mayoritas atas minoritas atau etnis dominan atas kurang dominan
di dalam konsep usang tersebut. Konsep warisan kolonial ini perlu
didekonstruksi untuk kemudian digantikan konsep multikulturalisme. Mengenai
multikulturalisme, Baogang He and Will Kymlicka memberi catatan bahwa aneka
bangsa dan negara di dunia kini harus menyadari bahwa keragaman adalah realitas
yang tidak bisa ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik
(negara) tidak bisa dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode
pemaksaan (koersif). Baogang He dan Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan
seputar perlunya cara pandang baru dalam mengatasi masalah perpecahan
masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:
In the first few decades following decolonization, talk of multiculturalism
and pluralism was often discouraged, as states attempted to consolidate
themselves as unitary and homogenizing nation-states. Today, however, it is
widely recognized that states in the region must come to terms with the
enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new ways of
accommodating and respecting diversity.
Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi budaya di
suatu negara sudah kehilangan justifikasinya. Ini akibat adanya kenyataan bahwa
dalam homogenisasi budaya di negara berkategori plural society (masyarakat
majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi budaya satu atas budaya lain. He
and Kymlicka memandang perbedaan adalah kodrat dan patutnya diterima saja. Hal
penting yang perlu dicari solusinya bagaimana jalinan hubungan antar komunitas
berbeda dapat berjalan secara harmonis.
He and Kymlicka melanjutkan, upaya homogenisasi
nasional selama ini kerap memancing perlawanan kaum minoritas etnis (juga
agama) yang termanifestasi lewat keputusan pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang
sipil seperti yang terjadi di Filipina, Papua New Guinea, Cina, Burma,
Indonesia, Srilanka, India, ataupun Pakistan. Konflik kekerasan merupakan salah
satu ekses negatif dari pembelahan masyarakat yang berlangsung selama periode
kolonial masing-masing negara. Aneka konflik tersebut memanfaatkan
kemultikulturalan masyarakat jajahan. Selama periode kolonial, penjajah bekerja
sama dengan satu etnis dalam masyarakat untuk menindas etnis lain. Ketika
penjajah hengkang, yang tersisa hanyalah amunisi melimpah untuk perang saudara.
Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di
Kanada tahun 1960-an. Perdana Menteri Kanada, Pierre Trudeau, menggunakannya
untuk melawan konsep biculturalism. Di masa sebelumnya, Kanada dikenal
hanya terdiri atas dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan Perancis.
Semenjak Trudeau, dinyatakan bahwa Kanada multikultural, karena terdiri atas
etnis dan ras berbeda seperti Inggris, Perancis, Indian, Inuit, serta kaum
imigran dari mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab, dan sebagainya.
Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta
dipopulerkan Will Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture
yang terbit tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995.
Bagi Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa
dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas
yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktek sosial
sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya.[14] Kymlicka bicara dalam
konteks multikultural dalam satu komunitas politik (negara), yang mungkin saja
terdiri atas komunitas-komunitas budaya yang berbeda.
Studi multikulturalisme condong pada studi
kewarganegaran, karena khusus mengulas sejumlah perbedaan budaya di tengah
komunitas politik (negara). Kymlicka menentang pendapat individu yang hidup
dalam komunitas politik otomatis merupakan bagian komunitas budaya yang sama.
Secara politik, individu adalah bagian dari satu komunitas politik, tetapi
dalam hal budaya, ia merupakan komunitas budaya spesifik. Dalam masalah
multikulturalisme ini, Kymlicka membedakan komunitas politik dengan komunitas
budaya sebagai:
On the one hand, there is the political community, within which individuals
exercise the right and responsibilities entailed by the framework of liberal
justice. People who reside within the same political community are fellow
citizens. On the other hand, there is the cultureal community, within which
individuals form and revise their aims and ambitions. People within the same
cultural community share a culture, a language and history which defines their
cultural membership.
Komunitas politik – biasa disebut negara – merupakan
tempat setiap anggota masyarakat secara legal menjadi warganegara. Hak serta
kewajiban mereka sama, tanpa memandang budaya, suku, agama, ras, dan golongan.
Komunitas budaya adalah individu mempraktekkan keunikan budaya masing-masing.
Mereka menciptakan komunitas-komunitas kebudayaan, tempat dimana mereka
menemukan individualitasnya.
Selama ini hubungan antara komunitas politik dengan
komunitas budaya tidak selalu harmonis. Komunitas politik kerap memaksakan
sebuah komunitas budaya nasional atas aneka komunitas budaya spesifik yang ada
di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat diingat kewajiban asimilasi nama
Indonesia atas etnis Cina di masa Orde Baru atau pelarangan demonstrasi
kebudayaan Cina secara publik? Pemerintah Indonesia atas nama komunitas politik
menekan komunitas budaya Cina dalam meng-exercise kebudayaannya. Kasus serupa
terjadi di Amerika Serikat, sebagai komunitas politik yang tidak memberikan hak
pilih dan hak sosial setara kepada komunitas budaya Afro-American sekurangnya
hingga tahun 1964. Agar analisis mengenai multikulturalisme mendapat porsi yang
tepat, Kymlicka mengingatkan bahwa pola hubungan minoritas-mayoritas di suatu
negara tidak dilepaskan dari sejarah terbentuknya sebuah masyarakat:
Modern societies are increasingly confronted with minority groups demanding
recognition of their identity, and accommodation of their cultural difference.
This is often phrased as the challenge of ‘multiculturalism’ There are a
variety of ways in which minorities incorporated into political communities,
from the conquest and colonization of previously self-governing societies to
the voluntary immigration of individuals and families. These differences in the
mode of incorporation affect the nature of minority groups, and the sort of
relationship they desire with larger society.
Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini banyak
menghadapi tuntutan dari kalangan minoritas atas keunikan budaya mereka. Dalam
menyikapi tuntutan ini, komunitas politik (negara) hendaknya tidak melupakan
sejarah masuknya aneka kelompok minoritas budaya ke dalam komunitas politik.
Secara sejarah ada di antara mereka yang masuk karena penaklukan ataupun
kolonialisasi atas wilayah yang dahulunya otonom maupun migrasi (perpindahan)
sukarela suatu kelompok budaya ke dalam wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi
sebuah negara moderen. Asal-usul elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah
komunitas politik moderen (negara) menandai kerumitas pola hubungan yang ada
sekaligus mampu memberi jalan keluar bagi terciptanya hubungan antar komunitas
budaya yang lebih manusiawi dan harmonis.
Guna melihat jenis multikultur di suatu komunitas
politik, Kymlicka menganalisisnya lewat pola masuknya suatu komunitas budaya ke
dalam komunitas politik. Variabel penentunya adalah genealogi proses suatu
komunitas budaya menjadi anggota komunitas politik. Genealogi ini dibagi ke
dalam dua pola, yang menurut Kymlicka (dikutip agak panjang saja):
In the first case, cultural diversity arises from the incorporation
of previously self-governing, territorially concentrated cultures into a larger
state. The incorporated cultures, which I call ‘national-minorities’, typically
wish to maintain themselves as distict society alongside the majority culture,
and demand various forms of autonomy of self-government to ensure their
survival as distinct societies.
In the second case, cultural diversity arises from individual and familial
immigration. Such immigrants often coalesce into loose associations which I call
‘ethnic groups’. They typically wish to integrate into larger society, and to
be accepted as full member of it. While they often seek greater recognition of
their etnic identity, their aim is not to become a separate and self-governing
nation alongside the larger society, but to modify the institutions and laws of
the mainstream society to make the more accomodating of cultural
differences.
Kymlicka menyebut pola pertama sebagai pola minoritas
nasional dan yang kedua sebagai pola kelompok etnis. Dalam pola pertama, sebuah
negara terbentuk dari budaya-budaya yang awalnya mandiri secara politik, bahkan
dapat dikategorikan sebagai unit politik atau negara sendiri.
Masyarakat-masyarakat politik dan budaya mandiri tersebut lalu sepakat
membentuk sebuah negara yang lebih besar. Namun, kendati sudah masuk ke dalam
negara yang lebih besar, mereka tetap menuntut privilese untuk mengatur diri
sendiri sejauh tetap berada dalam kesepakatan politik dengan komunitas politik
(negara) yang lebih besar tadi. Negara yang terbentuk lewat pola minoritas
nasional disebut Kymlicka sebagai memiliki dimensi multinasional.
Dalam pola kedua, keragaman budaya muncul dari arus
migrasi atau perpindahan penduduk, baik yang sifatnya sukarela maupun
termobilisasi. Pendatang yang baru masuk memiliki budaya berbeda dengan budaya
penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah. Berbeda dengan pola pertama, dalam
pola kedua ini komunitas budaya beragam, ada yang berasal dari wilayah yang
dahulunya merupakan komunitas politik politik otonom sebelum bergabung ke dalam
negara maupun berasal dari luar wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan.
Konsep awam dalam menyebut mereka ini adalah keturuan dan pendatang. Mereka
disebut keturunan jika berasal dari luar negara misalnya orang Arab, Cina, dan India.
Masalah utama yang menghadapi mereka adalah kewarganegaraan dan identitas,
yaitu antara loyal kepada pemerintah di mana kini mereka tinggal ataukan kepada
masyarakat dan negara asal atau leluhur mereka.
Mereka disebut pendatang jika berasal dari dalam
wilayah yuridiksi. Masalah kewarganegaraan dan identitas seperti dialami jenis
pertama mungkin tidak dialami. Masalah utama bagi mereka justru bagaimana
melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana budaya lokal yang mainstream
bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain, masalah pokok bagi mereka adalah
bagaimana melakukan perimbangan antara melestarikan budaya mereka sendiri
dengan tetap menghargai budaya dan pandangan masyarakat asli. Jumlah para
pendatang ini bervariasi. Ada pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu
wilayah, tetapi ada pula yang bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non
daerah basis mereka. Dalam pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan
sejumlah asimilasi (bahasa, tatakrama). Namun, keunikan budaya mereka pun tetap
ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan separatisme politik melainkan
agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh komunitas politik maupun
komunitas budaya lain tempatnya tinggal. Negara yang terbentuk lewat pola kedua
ini dinamakan Kymlicka sebagai polietnis.
Kedua pola pembentukan bangsa versi Kymlicaka hadir
sekaligus di Indonesia. Untuk kategori multinasional, sebelum kolonialisme
Belanda dan terbentuknya Indonesia, hampir setiap daerah dahulunya merupakan
komunitas politik sekaligus komunitas budaya mandiri. Misalnya, Maluku Utara
(kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo), Aceh (Samudera Pasai), Kalimantan
(kerajaan Banjar), Sulawesi Selatan (kerajaan Bone, Wajo, Luwuk), Yogyakarta
(Surakarta dan Yogyakarta), Banten (kesultanan Banten), Cirebon (kesultanan
Cirebon), Sumatera bagian Timur (Deli, Palembang), dan banyak lagi di
bagian-bagian lain. Raja, ratu, atau para sultan di masing-masing komunitas
sebelum periode kolonial relatif mandiri secara politik. Mereka memiliki
bahasa, adat, keyakinan, simbol, dan norma sendiri-sendiri yang berbeda satu
sama lain. Dan, hingga kini pun eksistensi politik mereka relatif masih diakui
di wilayah tertentu Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah
istimewa. Dalam konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik
sifatnya laten.
Untuk kategori polietnis Indonesia dibentuk oleh dua
pola migrasi yaitu migrasi luar dan migrasi dalam. Migrasi luar terjadi tatkala
etnis Arab, India, dan Cina datang dan diam di Indonesia. Kebanyakan migrasi
ini sifatnya sukarela. Kendati kecil secara kuantitas, pengaruh mereka di
bidang-bidang tertentu kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran Arab
memiliki pengaruh di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan dengan aneka majlis
ta’lim yang dipimpin seorang imigran Arab (Hadramaut) ataupun keturunannya.
Imigran Cina dan India memiliki aneka perusahaan besar yang beroperasi dan
menggunakan tenaga kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi
serius pemerintah pusat seputar kebebasan para imigran mempraktekkan budayanya.
Migrasi dalam mengemuka dalam hubungan antaretnis dari
dalam Indonesia. Seperti telah disebut, konsep awam untuk melukiskan mereka
adalah pendatang. Satu atau beberapa etnis melakukan transmigrasi ke wilayah
etnis lain. Misalnya etnis Jawa ke pulau-pulau luar Jawa, etnis Bugis dan Buton
bermigrasi ke Halmahera, etnis Betawi bermigrasi ke Sorong, atau etnis Madura
bermigrasi ke Sampit. Motivasi mereka pindah juga bervariasi, ada yang secara
sukarela dan ada pula yang secara mobilisasi. Akibat migrasi, kerap terjadi
social tension yang berkulminasi pada rentetan konflik (kerusuhan) etnis di
Jakarta, Bandung, Solo, Kalimantan, Poso, Ambon, dan wilayah Maluku Utara.
Sebab itu, dampak-dampak yang mungkin muncul akibat pola migrasi dalam dalam
masyarakat Indonesia ini pun perlu diakomodasi baik oleh komunitas politik
(pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas budaya (tokoh-tokoh adat
masyarakat setempat).
Kompleksitas sistem sosial dan budaya Indonesia serta
upaya kohesinya – seiring kenyataan multinasional dan polietnis – masih belum
selesai pembentukannya. Problem inti yang selalu muncul berkisar pada bagaimana
mencapai konsensus nasional sebagai basis perekat antarkelompok. Pancasila
sebagai basis ideologi multikulturalisme Indonesia, termasuk slogan Bhinneka
Tunggal Ika, belumlah cukup tanpa pemahaman dan exercise yang lebih
komprehensif dari seluruh anggota komunitas politik dan komunitas budaya yang
ada. Pemerintah tidak dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion guna
menimbulkan pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari pemerintah
sebagai wakil komunitas politik dan masyarakat sipil yang mewakili
komunitas-komunitas budaya untuk lebih memahami posisi Pancasila di dalam
konteks kebangsaan Indonesia.
Pasca transisi politik 1998, Indonesia semakin
mengarah pada sensitivitas positif akan dimensi multinasional dan polietnis
masyarakatnya. Dalam konteks polietnis kalangan imigran misalnya, di bawah
administrasi Gus Dur, etnis Tionghoa memperoleh pengakuan atas sekurangnya dua
komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek dan agama Kong Hu Cu (Konfusianisme).
Etnis Arab, biasanya terlembaga ke dalam majlis-majlis ta’lim yang di masa
administrasi Suharto telah beroleh pengakuan. Etnis India juga diberi hak sama
dengan mendirikan gurudwara-gurudwara. Masalah lain yang belum tersentuh adalah
pola hubungan polietnis yang diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana
multikultural dapat berkembang harmonis antara etnis-etnis intra Indonesia.
Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi
Daerah memberi keleluasaan setiap daerah untuk melakukan self-governing.
Pemilihan kepala daerah langsung menjamin adanya ruang lebih besar bagi
tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana seharusnya
masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi fitur
multinasional biasanya mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis
pemerintah pusat. Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti
nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status
sebagai daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan
pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya. Atas dasar fakta-fakta
ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengarah (atau diarahkan) kepada
masyarakat multikultur.
Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat
multinasional dan polietnis adalah etnophobia atau kecurigaan yang berlebihan
terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia berkembang etnophobia atas etnis
Jawa yang mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan
merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis
disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial
pun selalu menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa
yang mereka kuasai. Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang
terbesar Indonesia. Namun, dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera. Selain itu,
bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa melainkan Melayu yang
telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa asing lainnya
(Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).
Masalah yang juga biasa melatarbelakangi konflik etnis
dan sektarian Indonesia adalah ekonomi. Konflik Poso jika hanya dianalisis
secara dangkal adalah kisah perang agama. Padahal, pada esensinya bukan konflik
agama melainkan konflik ketimpangan struktural-ekonomi antara masyarakat asli
yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang mayoritas Islam. Kejadian
serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan posisi status
quo elit dan masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level
pusat, berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam
modernis.
Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan
masih memiliki optimismenya di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat
lebih cerdas dalam memetakan karakteristik suku bangsa yang bergabung dengan
Indonesia serta political will untuk melakukan budaya dialog antarbudaya serta
serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih mengakomodasi
komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling bersaing.
Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik
dan penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara.
Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight
capitalism. Peran pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial yang
sekadar juragan tanpa kehendak baik memperhatikan karakteristik budaya dan
masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai konsep masyarakat
majemuk.
0 komentar:
Posting Komentar