Asas Diskresi
Pengertian Asas Diskresi
Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih
dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri. Banyak
pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan,
diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman)
merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian
wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas.
Menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat
mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian,
menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.
Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai
berikut:
“Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat
sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah
kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi
kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar
Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”
Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T.
Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas
diskresi tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan
umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan
pelanggaran tindak pidana. Menurut Prajudi, diskresi adalah Kebebasan bertindak
atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri. Kemudian Laica Marzuki
mengemukakan bahwa diskresi adalah Kebebasan yang diberikan kepada badan atau
pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Lain lagi
pendapat dari Thomas J. Aaron yang menyatakan Discretion is power authority
conferred by law to action on the basic judgment or consience, and its use is
more idea of morals then law. Sedangkan definisi diskresi menurut Sjachran
Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah:
”…, tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…,
melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis
publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor
kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”.
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah
tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
diskresi adalah:
- Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;
- Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;
- Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.
- Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai,
tujuan bernegara dari faham negara
kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat
dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan
modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari
pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang
hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah
berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti
seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan
mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang
mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan
ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan
(rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan
kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang
seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire
(Perancis).
0 komentar:
Posting Komentar