Rabu, 05 November 2014

substansi hukum

Menurut Lawrence Meir Friedman terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Kendala penegakkan hukum di Indonesia disebabkan oleh keterpurukan  dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami pergeseran dari cita-cita dalam UUD 1945. Selanjutnya sekilas mengenai ketiga unsur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1.    Substansi Hukum (legal substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat di dalam suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak responsif terhadap perkembangan masyarakat. Akibat yang lebih luas adalah hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan bukan sebagai pengontrol kekuasaan atau membatasi kesewenangan yang sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh kekuasaan yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Menurut UUD 1945 kekuasaan membuat undang-undang diberikan kepada DPR sebagai legislatif dan Presiden sebagai Eksekutif. Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Rancangan undang-undang tersebut dibahas secara bersama-sama antara DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat undang-undang. Produk undang-undang yang dihasilkan harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara. Untuk saat ini, hampir sebahagian besar produk perundang-undangan yang dihasilkan lembaga DPR masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak relefan dan cendrung dipaksakan serta tidak responsif. Bahkan dalam UU kesehatan yang baru dikeluarkan salah satu contoh, ayat yang mengatur tentang tembakau tidak tercantum. Tidak diaturnya (hilangnya) ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan mencerminkan bahwa kualitas dari anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib dari Radbruch, terdapat nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Tidak jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam penegakkan hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah keadilan, mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan demokratis hanya akan menimbulkan opini di masyarakat yang dapat menggangu stabilitas hukum, keamanan ekonomi dan politik. Sehingga untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat harus bebas dari intervensi dan kepentingan pihak-pihak atau kelompok tertentu.



0 komentar: