Menurut Lawrence Meir Friedman terdapat tiga unsur dalam sistem hukum,
yakni Struktur (Structure), substansi
(Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Kendala penegakkan hukum di Indonesia disebabkan oleh keterpurukan dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami
pergeseran dari cita-cita dalam UUD 1945. Selanjutnya sekilas mengenai ketiga unsur tersebut
akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Substansi Hukum (legal substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang
(law books). Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan
hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara
warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik
hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan,
demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi
masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan
reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang
dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan
gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana
politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat di dalam suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak
responsif terhadap perkembangan
masyarakat. Akibat yang lebih luas adalah hukum dijadikan sebagai alat
kekuasaan dan bukan sebagai pengontrol kekuasaan atau membatasi kesewenangan
yang sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh kekuasaan yang diberikan wewenang
oleh undang-undang. Menurut UUD 1945 kekuasaan membuat undang-undang diberikan
kepada DPR sebagai legislatif dan
Presiden sebagai Eksekutif. Dalam
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”. Rancangan undang-undang tersebut dibahas secara bersama-sama antara DPR
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif
yang salah satu tugasnya adalah membuat undang-undang. Produk undang-undang
yang dihasilkan harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat,
berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara. Untuk
saat ini, hampir sebahagian besar produk perundang-undangan yang dihasilkan
lembaga DPR masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang tidak relefan dan cendrung dipaksakan serta tidak
responsif. Bahkan dalam UU kesehatan yang baru dikeluarkan salah satu contoh, ayat
yang mengatur tentang tembakau tidak tercantum. Tidak diaturnya (hilangnya)
ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan mencerminkan bahwa kualitas dari
anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib dari Radbruch, terdapat nilai-nilai
dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Tidak jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam
penegakkan hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah
keadilan, mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan demokratis hanya akan
menimbulkan opini di masyarakat yang dapat menggangu stabilitas hukum, keamanan ekonomi dan
politik. Sehingga untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat harus bebas dari intervensi dan
kepentingan pihak-pihak atau kelompok tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar