SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM PERDATA (BW)
SEJARAH BW YANG BERASAL DARI BELANDA
- Sejarah BW berawal di BelandaProses terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Indonesia bersumber dari sejarah KUHPerdata di Belanda. Pada abad pertengahan sistem pemerintahan Belanda masih bercorak desentralisasi, belum menganut sistem pemerintahan yang terpusat atau sentralisasi seperti dianut oleh kebanyakan negara-negara maju. Masing-masing provinsi masih berdaulat penuh sendiri-sendiri atas wilayahnya, dan masing-masing mempunyai peraturan sendiri-sendiri pula.Oleh sebab itu mudah dimengerti jika pada waktu itu belum ada peraturan yang berlaku umum untuk seluruh wilayah, sehingga akibatnya kepastian hukum atau recht-zekerheid sukar diperoleh. Di daerah atau di provinsi-provinsi itu, variasi hukum sangat beraneka, seperti; hukum Romawi, hukum German, hukum gereja dan peraturan dari provinsi-provinsi itu sendiri (hukum adat).
Pada waktu Nederland masih berbentuk Republik Serikat,
keadaan hukum di negeri ini menjadi semakin rumit. Penyebabnya tidak lain
karena keragaman hukum yang ada sebagai akibat dari tidak adanya sentralisasi
kekuasaan. Di kalangan para ahli hukum di Belanda sendiri mulai timbul
keinginan untuk menghidupkan kembali hukum mereka sendiri yang selama ini
terdesak oleh hukum dari negeri lain. Karena tidak adanya kepastian hukum maka
tidak mengherankan jika nantinya timbul keinginan untuk menghimpun berbagai
hukum itu ke dalam suatu kodifikasi atau kitab hukum, agar kemudian dapat
diperoleh keseragaman dan kepastian hukum.
Pada 1796 lembaga yang bernama National Vergadering
atau Sidang Perwakilan Nasional di negeri Belanda, memutuskan untuk
mengadakan kodifikasi di bidang hukum perdata. Untuk keperluan itu maka
dibentuklah komisi atau panitia ad hoc / khusus yang akan merancang
serta memikirkan usaha-usaha kea rah kodifikasi itu. Tetapi usaha panitia itu
ternyata belum berhasil.
Pada 1814, Kemper seorang guru besar di bidang hukum
di negeri Belanda mengusulkan kepada pemerintahnya agar membuat kodifikasi
sendiri yang memuat kumpulan hukum Belanda kuno, meliputi : hukum Romawi, hukum
German dan hukum kanonik (gereja). Atas prakarsanya sendiri Kemper kemudian
menyusun draft Undang-undang untuk diajukan kepada Raja. Draft ini disetujui
oleh Raja untuk dijadikan landasan kerja bagi komisi yang telah dibentuk oleh
pemerintah sebelumnya. Rancangan Kemper ini terkenal dengan nama Rancangan
1816. Hukum Belanda kuno yang dijadikan inti rancangan Kemper ini cukup
lengkap dan rinci. Meliputi tidak kurang dari 4000 pasal yang berarti dua kali
lipat lebih banyak daripada pasal yang dipunyai oleh BW sekarang.
Beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari keputusan
Kongres Wina, negeri Belgia disatukan dengan negeri Belanda. Rancangan Kemper
ini kemudian diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada panitia yang terdiri
dari para sarjana hukum Belgia untuk dimintakan pendapatnya. Ternyata kemudian
panitia ini menolak rancangan tadi dengan alasan bahwa rancangan tersebut
terlalu luas dan terlalu rinci. Panitia mengusulkan agar hukum yang sebelumnya
sudah ada dan berlaku, yaitu Code Napoleon, tetap diberlakukan sebagai
dasar.
Kemper adalah orang yang terkenal ulet dan gigih, oleh
karena itu dia pantang menyerah dalam menghadapi keadaan tersebut. sebab dia
mengajukan lagi draftnya kepada Raja Willem I yang memerintah Belanda
pada saat itu, agar Rancangan 1816 itu tetap dipakai dalam rangka menyusun
Rancangan Undang-Undang baru itu. Raja Willem I menyetujui usul Kemper ini, dan
menetapkan bahwa Rancangan Undang-Undang 1816 yang telah diperbarui dan
disesuaikan dengan saran-saran dan keberatan yang diajukan oleh para sarjana
Belgia itu ditetapkan sebagai Rancangan Undang-Undang 1820. Tetapi dalam siding
Parlemen Belanda pada 1822 rancangan tersebut ditolak oleh Parlemen.
Tidak lama sesudah itu dibentuk lagi
komisi lain dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menyiapkan Rancangan
Undang-Undang bagi seluruh rakyat negeri Belanda dan yang bisa berlaku untuk
semua pihak. Dari 1822 hingga 1829 komisi yang baru ini melaksanakan tugasnya.
Bertolak dari pengalaman komisi sebelumnya mereka menempuh cara lain yang
berbeda dengan cara yang telah ditempuh selama ini, yaitu dengan menyelesaikan
bagian demi bagian. Setiap kali bagian-bagian ini selesai, ditempatkanlah dalam
Staatsblaad atau lembaran negara sendiri-sendiri, kemudian apabila semua bagian
itu telah rampung seluruhnya, disatukanlah dalam satu Wetboek atau kitab hukum
yang direncanakan akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Raja 1 Februari 1831.
Semua wetboek ini ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa
Perancis.
Pada waktu bersamaan, WvK (Wetboek
van Koophandel atau dalam bahasa Indonesia dinamakan Kitab Undang-undang Hukum
Dagang), BRv (Burgerlijk-Rechtsvorderings atau biasa disebut Hukum Acara
Perdata), serta disahkan pula WvS (Wetboek van Straafrecht atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) yang baru ditetapkan beberapa waktu kemudian.
Sebelum saat perencanaan pelaksanaan
Wetboek di Belanda muncul lah pemberontakan di bagian selatan. Akibatnya
pengesahan wetboek itu ditangguhkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Sesaat
pra pemberontakan usai komisi ditugaskan lagi untuk menelaah dan memeriksa
kembali rancangan yang telah ada.
Pada 1834 pekerjaan komisi ini
selesai dengan Surat Keputusan Raja 10 April 1838, yang dimuat dalam
staatsblaad no.12/1838, ditudingkanlah semua wetboek ini dan dinyatakan berlaku
mulai 1 Oktober 1838, termasuk di dalamnya BW yang hingga sekarang masih kita
kenal.
2. Pengaruh hukum Romawi
Hukum Romawi adalah hukum yang
dibuat pada zaman kejayaan raja Romawi yang terkenal. Terinspirasi dari
hukum-hukum di Negara Eropa yaitu Corpus Iuris Civilis, yang dikerjakan
pada sekitar abad VI M sebagai hasil karya besar dari seorang raja yang bernama
Justinianus yang memerintah pada 524 – 565 M. Kekuasaan kerajaan Romawi
berlangsung cukup lama sampai akhirnya tidak mampu mempertahankan kedaulatannya
hingga kerajaan terpecah menjadi dua bagian yaitu Romawi Barat dan Romawi
Timur. Namun pada akhirnya kerajaan Romawi Barat runtuh karena terjadinya
perpindahan bangsa Timur ke wilayahnya. Meskipun kerajaan Romawi yang besar itu
telah lenyap tetapi hukum-hukumnya masih tetap dipakai di negeri-negeri bekas
jajahannya. Oleh sebab itu hukum Romawi masuk di Belanda pada sekitar abad XIII
M. Di negeri ini pada waktu itu hukum sangat heterogen (bermacam-macam) hukum
yang berlaku seperti hukum Romawi, hukum German, hukum Gereja dan hukum adat.
Hal ini berarti bagaimanapun juga hukum Romawi pada saat itu sedikit banyak
berpengaruh pula terhadap hukum yang dibuat oleh pemerintahan Belanda di
kemudian hari.
3. Pengaruh hukum Perancis
Pada saat Belanda mengkodifikasikan
hukum-hukumnya, Perancis juga berkeinginan untuk melakukan hal yang sama.
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi ini disebabkan karena Perancis
memberlakukan hukum Romawi dan hukum Perancis kuno. Namun nantinya berdampak
pada ketidakpastian hukum karena tidak terdapat unifikasi atau kesatuan hukum
karena tidak terdapatnya unifikasi atau kesatuan hukum.
Pada 1715 M Raja Lodewijk ke-XV
memulai usaha kodifikasi hukum pertama di Perancis tetapi tidak berhasil. Lalu
pada 1789 M lahir Revolusi Perancis yang meneruskan usaha pengkodifikasian
hukum sampai akhirnya berkali-kali menemui kegagalan seperti di Belanda. Ketika
Napoleon Bonaparte diangkat sebagai Konsul pertama di Perancis pada 1800, dia
membentuk sebuah panitia atau komisi khusus yang bertugas untuk memikirkan dan
mengusahakan adanya kodifikasi hukum di Perancis. Hasil kerja komisi ini
kemudian diberlakukan pada 1804 yang terkenal dengan nama Code Civil De
Francais. Code Civil ini sangat terpengaruh pada hukum Romawi walaupun di
dalamnya banyak juga dimasukkan hukum kanonik (hukum gereja) yang didukung oleh
gereja-gereja Katolik.
Sesaat Napoleon dinobatkan menjadi
Kaisar bangsa Perancis, Code Civil De Francais yang baru saja
diberlakukan itu mengalami perubahan sampai pada 1807 direvisi dan diberi nama Code
Napoleon. Tahun 1808 hasil kerja panitia ini telah siap untuk
diundangkan sampai pada 1 Mei 1809 Rancangan Undang-Undang ini baru disahkan
sebagai Undang-undang dan diberi nama Wetboek Napoleon in Gerigt Voor Het
Koningkrijk, atau Kitab Undang-undang Napoleon yang disesuaikan
dengan kerajaan Belanda. Isi Wetboek ini sebagian besar merupakan penjiplakan
dari Code Napoleon yang telah berlaku sejak 1807 di kerajaan Perancis. Namun
ternyata tidak berlangsung lama karena dengan terjadinya annexatie atau
penggabungan negeri Belanda dengan Perancis.
Setelah Belanda lepas dari kekuasaan
Perancis, ternyata pemerintah Belanda sendiri, seperti halnya Indonesia sesudah
proklamasi, tidak begitu saja bisa cepat-cepat mengganti perundang-undangan
peninggalan Perancis itu. Bahkan pemerintah Belanda lebih cenderung untuk tetap
mempertahankan Undang-undang itu dengan menyesuaikan saja dengan kepentingan
Belanda saat itu.
Tak lama kemudian muncullah Kemper
yang mendesak pemerintah untuk membuat kodifikasi hukum yang memuat hukum-hukum
Belanda kuno. BW yang kemudian berlaku di Belanda sejak 1 Oktober 1838 beserta
wetboek lainnya, meskipun telah diolah dan dirumuskan berulang-ulang ternyata
sebagian terbesar masih tetap mengikuti Code Civil Perancis yang pernah ada dan
dinyatakan berlaku di negeri itu. Dengan demikian pengaruh Code Civil Perancis
terhadap BW masih sangat domain. Code Civil sendiri sangat dipengaruhi oleh
hukum Romawi yang terkenal itu. Jadi BW Belanda yang berarti juga BW yang
berlaku di Indonesia.
4. BW Belanda dan Asas Konkordansi di
Indonesia
Di Belanda BW berlaku sejak 1
Oktober 1838, berdasarkan dekrit Raja Belanda 10 April 1838 yang dimuat dalam
Stb. No. 12/1838. Satu tahun kemudian Raja Belanda membentuk sebuah panitia
yang diketuai oleh Mr. Scholten, seorang sarjana hukum Belanda, untuk
memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di Belanda itu dapat pula dipakai
untuk daerah jajahan mereka yaitu Hindia Belanda. Panitia ini merancang
berbagai macam hukum untuk Hindia Belanda termasuk di dalamnya BW dab WvK.
Setelah panitia Scholten ini bubar,
Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau Mahkamah Agung di Hindia Belanda waktu itu
yaitu Mr. H. L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia untuk
memberlakukan Kitab Hukum yang baru itu sambil memikirkan pasal-pasal yang
mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut
kemudian dengan pengumuman Guberbur Jenderal Hindia Belanda 3 Desember 1847
dinyatakan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 termasuk BW yang ada di dalamnya.
Burgerlijk Wetboek yang disiapkan
Wichers dan selesai 1846 itu, adalah meneladan BW yang ada di Belanda sendiri.
Asas konkordansi atau “Concordantie Beginsel” ini tercantum dalam pasal 131
Indische Staatsregeling (IS) yang berisi aturan-aturan pemerintah Hindia
Belanda yang terdiri dari 187 pasal dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1926
berdasarkan Stb. 1925-577.
Asas tersebut mengemukakan bahwa
bagi setiap orang Eropa yang ada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata
yang berlaku di Belanda. Berdasarkan Stb. 1847 no. 23 BW hanya berlaku terhadap
3 Golongan, yaitu :
- Orang –
orang Eropa meliputi orang Belanda, Orang yang berasal dari Eropa, Orang
Jepang, Orang Amerika Serikat, Kanada dan Australia berikut anak-anak
mereka.
- Orang-orang
yang dipersamakan dengan orang Eropa (yaitu mereka yang pada saat BW
berlaku memeluk agama Kristen)
- Orang-orang
Bumiputera (pribumi) turunan Eropa.
Pada umumnya selain terhadap tiga
golongan itu, BW tidak berlaku. Tetapi berdasarkan pasal 131 IS dan keputusan
Raja Belanda 15 September 1916, Stb. 1917 no. 12 jo. 528 yang mulai
diberlakukan sejak 1 Oktober 1917 kepada golongan Bumiputera dan golongan Timur
Asing dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW dan WvK baik untuk
sebagian maupun untuk keseluruhan.
Menurut Mr. Scholten Ketua HGH yang
juga menjadi Ketua Lembaga Penundukan sukarela ini akan memberikan keuntungan
dan keamanan yang besar bagi orang-orang Eropa. Manakala mereka mengadakan
perjanjian dengan orang-orang yang tidak termasuk golongan Eropa yaitu dengan
menerapkan hukum Eropa dalam perjanjian tersebut.
Dengan demikian kepentingan
orang-orang Eropa menjadi lebih terjamin karena hukum Eropa merupakan hukum
tertulis yang lebih menjamin adanya kepastian hukum daripada hukum adat yang
merupakan hukum yang dipakai oleh golongan Bumiputera (Pribumi).Setelah melalui
perjalanan panjang, sistem ketahanan hukum di Indonesia sampai memasuki
pemberlakuan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang menyatakan UUD 1945 merupakan
aturan tatanan hukum yang berlaku. Meskipun peraturan peralihan hukum
sebelumnya khususnya di bidang hukum perdata (BW) tidak pernah berubah.
Demikian pula halnya dengan Peraturan Pemerintah n0. 2/1945, 10 Oktober 1945
yang dinyatakan berlaku surut sejak 17 Agustus 1945. Ini berarti bahwa BW pun
tetap berlaku terus sebelum diganti atau dicabut
0 komentar:
Posting Komentar