Minggu, 19 Oktober 2014

SEJARAH HUKUM PERDATA (BW)

SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM PERDATA (BW)
SEJARAH BW YANG BERASAL DARI BELANDA
  1. Sejarah BW berawal di Belanda
    Proses terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Indonesia bersumber dari sejarah KUHPerdata di Belanda. Pada abad pertengahan sistem pemerintahan Belanda masih bercorak desentralisasi, belum menganut sistem pemerintahan yang terpusat atau sentralisasi seperti dianut oleh kebanyakan negara-negara maju. Masing-masing provinsi masih berdaulat penuh sendiri-sendiri atas wilayahnya, dan masing-masing mempunyai peraturan sendiri-sendiri pula.
    Oleh sebab itu mudah dimengerti jika pada waktu itu belum ada peraturan yang berlaku umum untuk seluruh wilayah, sehingga akibatnya kepastian hukum atau recht-zekerheid sukar diperoleh. Di daerah atau di provinsi-provinsi itu, variasi hukum sangat beraneka, seperti; hukum Romawi, hukum German, hukum gereja dan peraturan dari provinsi-provinsi itu sendiri (hukum adat).
Pada waktu Nederland masih berbentuk Republik Serikat, keadaan hukum di negeri ini menjadi semakin rumit. Penyebabnya tidak lain karena keragaman hukum yang ada sebagai akibat dari tidak adanya sentralisasi kekuasaan. Di kalangan para ahli hukum di Belanda sendiri mulai timbul keinginan untuk menghidupkan kembali hukum mereka sendiri yang selama ini terdesak oleh hukum dari negeri lain. Karena tidak adanya kepastian hukum maka tidak mengherankan jika nantinya timbul keinginan untuk menghimpun berbagai hukum itu ke dalam suatu kodifikasi atau kitab hukum, agar kemudian dapat diperoleh keseragaman dan kepastian hukum.
Pada 1796 lembaga yang bernama National Vergadering atau Sidang Perwakilan Nasional di negeri Belanda, memutuskan untuk mengadakan kodifikasi di bidang hukum perdata. Untuk keperluan itu maka dibentuklah komisi atau panitia ad hoc / khusus yang akan merancang serta memikirkan usaha-usaha kea rah kodifikasi itu. Tetapi usaha panitia itu ternyata belum berhasil.
Pada 1814, Kemper seorang guru besar di bidang hukum di negeri Belanda mengusulkan kepada pemerintahnya agar membuat kodifikasi sendiri yang memuat kumpulan hukum Belanda kuno, meliputi : hukum Romawi, hukum German dan hukum kanonik (gereja). Atas prakarsanya sendiri Kemper kemudian menyusun draft Undang-undang untuk diajukan kepada Raja. Draft ini disetujui oleh Raja untuk dijadikan landasan kerja bagi komisi yang telah dibentuk oleh pemerintah sebelumnya. Rancangan Kemper ini terkenal dengan nama Rancangan 1816. Hukum Belanda kuno yang dijadikan inti rancangan Kemper ini cukup lengkap dan rinci. Meliputi tidak kurang dari 4000 pasal yang berarti dua kali lipat lebih banyak daripada pasal yang dipunyai oleh BW sekarang.
Beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari keputusan Kongres Wina, negeri Belgia disatukan dengan negeri Belanda. Rancangan Kemper ini kemudian diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada panitia yang terdiri dari para sarjana hukum Belgia untuk dimintakan pendapatnya. Ternyata kemudian panitia ini menolak rancangan tadi dengan alasan bahwa rancangan tersebut terlalu luas dan terlalu rinci. Panitia mengusulkan agar hukum yang sebelumnya sudah ada dan berlaku, yaitu Code Napoleon, tetap diberlakukan sebagai dasar.
Kemper adalah orang yang terkenal ulet dan gigih, oleh karena itu dia pantang menyerah dalam menghadapi keadaan tersebut. sebab dia mengajukan lagi draftnya kepada Raja Willem I yang memerintah Belanda pada saat itu, agar Rancangan 1816 itu tetap dipakai dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang baru itu. Raja Willem I menyetujui usul Kemper ini, dan menetapkan bahwa Rancangan Undang-Undang 1816 yang telah diperbarui dan disesuaikan dengan saran-saran dan keberatan yang diajukan oleh para sarjana Belgia itu ditetapkan sebagai Rancangan Undang-Undang 1820. Tetapi dalam siding Parlemen Belanda pada 1822 rancangan tersebut ditolak oleh Parlemen.
Tidak lama sesudah itu dibentuk lagi komisi lain dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang bagi seluruh rakyat negeri Belanda dan yang bisa berlaku untuk semua pihak. Dari 1822 hingga 1829 komisi yang baru ini melaksanakan tugasnya. Bertolak dari pengalaman komisi sebelumnya mereka menempuh cara lain yang berbeda dengan cara yang telah ditempuh selama ini, yaitu dengan menyelesaikan bagian demi bagian. Setiap kali bagian-bagian ini selesai, ditempatkanlah dalam Staatsblaad atau lembaran negara sendiri-sendiri, kemudian apabila semua bagian itu telah rampung seluruhnya, disatukanlah dalam satu Wetboek atau kitab hukum yang direncanakan akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Raja 1 Februari 1831. Semua wetboek ini ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Perancis.
Pada waktu bersamaan, WvK (Wetboek van Koophandel atau dalam bahasa Indonesia dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Dagang), BRv (Burgerlijk-Rechtsvorderings atau biasa disebut Hukum Acara Perdata), serta disahkan pula WvS (Wetboek van Straafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang baru ditetapkan beberapa waktu kemudian.
Sebelum saat perencanaan pelaksanaan Wetboek di Belanda muncul lah pemberontakan di bagian selatan. Akibatnya pengesahan wetboek itu ditangguhkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Sesaat pra pemberontakan usai komisi ditugaskan lagi untuk menelaah dan memeriksa kembali rancangan yang telah ada.
Pada 1834 pekerjaan komisi ini selesai dengan Surat Keputusan Raja 10 April 1838, yang dimuat dalam staatsblaad no.12/1838, ditudingkanlah semua wetboek ini dan dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1838, termasuk di dalamnya BW yang hingga sekarang masih kita kenal.
2.      Pengaruh hukum Romawi
Hukum Romawi adalah hukum yang dibuat pada zaman kejayaan raja Romawi yang terkenal. Terinspirasi dari hukum-hukum di Negara Eropa yaitu Corpus Iuris Civilis, yang dikerjakan pada sekitar abad VI M sebagai hasil karya besar dari seorang raja yang bernama Justinianus yang memerintah pada 524 – 565 M. Kekuasaan kerajaan Romawi berlangsung cukup lama sampai akhirnya tidak mampu mempertahankan kedaulatannya hingga kerajaan terpecah menjadi dua bagian yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur. Namun pada akhirnya kerajaan Romawi Barat runtuh karena terjadinya perpindahan bangsa Timur ke wilayahnya. Meskipun kerajaan Romawi yang besar itu telah lenyap tetapi hukum-hukumnya masih tetap dipakai di negeri-negeri bekas jajahannya. Oleh sebab itu hukum Romawi masuk di Belanda pada sekitar abad XIII M. Di negeri ini pada waktu itu hukum sangat heterogen (bermacam-macam) hukum yang berlaku seperti hukum Romawi, hukum German, hukum Gereja dan hukum adat. Hal ini berarti bagaimanapun juga hukum Romawi pada saat itu sedikit banyak berpengaruh pula terhadap hukum yang dibuat oleh pemerintahan Belanda di kemudian hari.

3.      Pengaruh hukum Perancis
Pada saat Belanda mengkodifikasikan hukum-hukumnya, Perancis juga berkeinginan untuk melakukan hal yang sama. Keinginan untuk mengadakan kodifikasi ini disebabkan karena Perancis memberlakukan hukum Romawi dan hukum Perancis kuno. Namun nantinya berdampak pada ketidakpastian hukum karena tidak terdapat unifikasi atau kesatuan hukum karena tidak terdapatnya unifikasi atau kesatuan hukum.
Pada 1715 M Raja Lodewijk ke-XV memulai usaha kodifikasi hukum pertama di Perancis tetapi tidak berhasil. Lalu pada 1789 M lahir Revolusi Perancis yang meneruskan usaha pengkodifikasian hukum sampai akhirnya berkali-kali menemui kegagalan seperti di Belanda. Ketika Napoleon Bonaparte diangkat sebagai Konsul pertama di Perancis pada 1800, dia membentuk sebuah panitia atau komisi khusus yang bertugas untuk memikirkan dan mengusahakan adanya kodifikasi hukum di Perancis. Hasil kerja komisi ini kemudian diberlakukan pada 1804 yang terkenal dengan nama Code Civil De Francais. Code Civil ini sangat terpengaruh pada hukum Romawi walaupun di dalamnya banyak juga dimasukkan hukum kanonik (hukum gereja) yang didukung oleh gereja-gereja Katolik.
Sesaat Napoleon dinobatkan menjadi Kaisar bangsa Perancis, Code Civil De Francais yang baru saja diberlakukan itu mengalami perubahan sampai pada 1807 direvisi dan diberi nama Code Napoleon. Tahun 1808 hasil kerja panitia ini telah siap untuk diundangkan sampai pada 1 Mei 1809 Rancangan Undang-Undang ini baru disahkan sebagai Undang-undang dan diberi nama Wetboek Napoleon in Gerigt Voor Het Koningkrijk, atau Kitab Undang-undang Napoleon yang disesuaikan dengan kerajaan Belanda. Isi Wetboek ini sebagian besar merupakan penjiplakan dari Code Napoleon yang telah berlaku sejak 1807 di kerajaan Perancis. Namun ternyata tidak berlangsung lama karena dengan terjadinya annexatie atau penggabungan negeri Belanda dengan Perancis.
Setelah Belanda lepas dari kekuasaan Perancis, ternyata pemerintah Belanda sendiri, seperti halnya Indonesia sesudah proklamasi, tidak begitu saja bisa cepat-cepat mengganti perundang-undangan peninggalan Perancis itu. Bahkan pemerintah Belanda lebih cenderung untuk tetap mempertahankan Undang-undang itu dengan menyesuaikan saja dengan kepentingan Belanda saat itu.
Tak lama kemudian muncullah Kemper yang mendesak pemerintah untuk membuat kodifikasi hukum yang memuat hukum-hukum Belanda kuno. BW yang kemudian berlaku di Belanda sejak 1 Oktober 1838 beserta wetboek lainnya, meskipun telah diolah dan dirumuskan berulang-ulang ternyata sebagian terbesar masih tetap mengikuti Code Civil Perancis yang pernah ada dan dinyatakan berlaku di negeri itu. Dengan demikian pengaruh Code Civil Perancis terhadap BW masih sangat domain. Code Civil sendiri sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi yang terkenal itu. Jadi BW Belanda yang berarti juga BW yang berlaku di Indonesia.

4.      BW Belanda dan Asas Konkordansi di Indonesia
Di Belanda BW berlaku sejak 1 Oktober 1838, berdasarkan dekrit Raja Belanda 10 April 1838 yang dimuat dalam Stb. No. 12/1838. Satu tahun kemudian Raja Belanda membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. Scholten, seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di Belanda itu dapat pula dipakai untuk daerah jajahan mereka yaitu Hindia Belanda. Panitia ini merancang berbagai macam hukum untuk Hindia Belanda termasuk di dalamnya BW dab WvK.
Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau Mahkamah Agung di Hindia Belanda waktu itu yaitu Mr. H. L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia untuk memberlakukan Kitab Hukum yang baru itu sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut kemudian dengan pengumuman Guberbur Jenderal Hindia Belanda 3 Desember 1847 dinyatakan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 termasuk BW yang ada di dalamnya.
Burgerlijk Wetboek yang disiapkan Wichers dan selesai 1846 itu, adalah meneladan BW yang ada di Belanda sendiri. Asas konkordansi atau “Concordantie Beginsel” ini tercantum dalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yang berisi aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari 187 pasal dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 berdasarkan Stb. 1925-577.
Asas tersebut mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropa yang ada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda. Berdasarkan Stb. 1847 no. 23 BW hanya berlaku terhadap 3 Golongan, yaitu :
  1. Orang – orang Eropa meliputi orang Belanda, Orang yang berasal dari Eropa, Orang Jepang, Orang Amerika Serikat, Kanada dan Australia berikut anak-anak mereka.
  2. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa (yaitu mereka yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen)
  3. Orang-orang Bumiputera (pribumi) turunan Eropa.
Pada umumnya selain terhadap tiga golongan itu, BW tidak berlaku. Tetapi berdasarkan pasal 131 IS dan keputusan Raja Belanda 15 September 1916, Stb. 1917 no. 12 jo. 528 yang mulai diberlakukan sejak 1 Oktober 1917 kepada golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW dan WvK baik untuk sebagian maupun untuk keseluruhan.
Menurut Mr. Scholten Ketua HGH yang juga menjadi Ketua Lembaga Penundukan sukarela ini akan memberikan keuntungan dan keamanan yang besar bagi orang-orang Eropa. Manakala mereka mengadakan perjanjian dengan orang-orang yang tidak termasuk golongan Eropa yaitu dengan menerapkan hukum Eropa dalam perjanjian tersebut.
Dengan demikian kepentingan orang-orang Eropa menjadi lebih terjamin karena hukum Eropa merupakan hukum tertulis yang lebih menjamin adanya kepastian hukum daripada hukum adat yang merupakan hukum yang dipakai oleh golongan Bumiputera (Pribumi).Setelah melalui perjalanan panjang, sistem ketahanan hukum di Indonesia sampai memasuki pemberlakuan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang menyatakan UUD 1945 merupakan aturan tatanan hukum yang berlaku. Meskipun peraturan peralihan hukum sebelumnya khususnya di bidang hukum perdata (BW) tidak pernah berubah. Demikian pula halnya dengan Peraturan Pemerintah n0. 2/1945, 10 Oktober 1945 yang dinyatakan berlaku surut sejak 17 Agustus 1945. Ini berarti bahwa BW pun tetap berlaku terus sebelum diganti atau dicabut


0 komentar: