MODEL DAN
BENTUK SISTEM PERADILAN PIDANA
.jpg)
- Crime
Control Model
Crime Control Model didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan
tindakan represif pada kejahatan sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu
Sistem Peradilan Pidana. Menurut Crime Control Model, tujuan dari
Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menekan kejahatan, yang dikendalikan
melalui pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa dihukum.
Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime
Control Model menyatakan bahwa perhatian utama harulah ditujukan pada
efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi mencakup kecepatan,
ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana.
Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh
karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan
mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal itu
hanya menghambat penyelesaian perkara.
Efektif, dalam crime control model akan
diasumsi oleh hukum adalah bersalah, yang berarti memungkinkan pra-penghakiman
bersalah (dan akhirnya preventif dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan) untuk
divonis pada tersangka tertentu. Bahkan, mengatakan bahwa jika pemerintah –
yang diinvestasikan dengan kekuasaan publik – memulai penyelidikan menjadi
individu tertentu dan sebagai akibatnya mereka memutuskan bahwa bukti yang
cukup telah dikumpulkan untuk membawanya ke pengadilan, maka harus dianggap
bahwa individu dalam hal ini bersalah, dan itu adalah tugas dari
tersangka/terdakwa untuk menyangkal ini dan menyajikan bukti sebaliknya.
Sehingga oleh Herbert L. Packer
dikemukakan bahwa, doktrin yang digunakan oleh crime control model
adalah apa yang dikenal dengan nama presumption of guilt (praduga
bersalah). Dengan doktrin ini, maka crime control model menekankan
pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap
setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan
kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa dan hakim) harus
semaksimal mungkin meskipun harus mengorbankan Hak Asasi Manusia.
Sehingga, Proses penegakan hukum harus menitikberatkan
kepada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut
akan membawa kearah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan
tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead guilty).
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa crime control model
merupakan tipe affirmative model, yaitu model yang selalu menekankan pada
effisiensi dan penggunaan kekuasaan pada setiap sudut proses peradilan pidana,
dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.
- Due
Process Model
Menurut Due Process Model, tujuan dari sistem
peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa pidana secara adil dan sesuai
dengan standar konstitusi.
Due Process Model jauh lebih skeptis terhadap proses investigasi
administrasi dan kapasitas untuk membuat penilaian yang akurat bersalah tanpa
pengawasan yudisial. Due proses model menghargai hak-hak individu dan
martabat dalam menghadapi kekuasaan negara, bukan hanya penindasan terhadap
kejahatan.
Menurut John Griffith, due process model
tampak sangat berbeda dengan crime control model, sistem due process
model berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep
pembatasan kekuasaan resmi.
Oleh karena itu, due proses model menolak
informal administrasi pencarian fakta, dan preferensi ajudikasi yang mengambil
posisi berseberangan dengan proses formal. Di dalam due process model,
tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus tersebut disidangkan secara
terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan terdakwa telah memiliki
kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap dirinya.
Sehingga, karakteristik due process model
adalah perlindungan hak-hak tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan
dan kesalahan seorang yang harus melalui suatu persidangan.
Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang
mendasari Due Proses Model adalah:
- Kemungkinan
adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi (human error)
menyebabkan model ini menolak “informal fact finding process”
sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual guild”
seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal adjudicative and
adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka
harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah
tersangka memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaannya.
- Model
ini menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.
- Model
ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang sebagai coercive
(menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan martabat
manusia.
- Model
ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.
- Adanya
gagasan persamaan di muka hukum.
- Model
ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
- Family
Model
Family Model adalah suatu Sistem Peradilan Pidana yang dipelopori
oleh John Griffith, dimana beliau menegaskan sebagai berikut:
“a defendant is not seen as an opponent but as an
erring member of the family, whom the parent might reprove but ought no to
reject”
(Terjemahan bebas è pelaku tindak pidana tidak
dipandang sebagai musuh masyarakat tetapi dipandang sebagai anggota keluarga
yang harus dimarahi guna pengendalian control pribadinya tetapi tidak boleh
ditolak atau diasingkan).
Menurut John Griffith, bahwa Herbert L. Packer
tidak memberikan dua model sistem peradilan pidana, namun hanya satu model,
yaitu battle model. Hal tersebut didasarkan kepada ideologi yang dianut
oleh crime control model dan due process model adalah “to put
a suspected criminal in jail”.
Sehingga John Griffith mencoba mengajukan
ideologi alternatif dalam memandang si petindak. Bahwa seorang petindak,
harus di treatment dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih. Agar muncul
perasaan, bahwa ia (si petindak) merupakan bagian dari ‘keluarga’ yang sedang
dinasehati.
- Medical
Model
Empat puluh tahun setelah “medical model” –
sebagai ilmu pidana yang berorientasi pada sistem pemasyarakatan rehabilitatif
yang mendominasi Amerika dari Perang Dunia II sampai tahun 1970-an dikenal luas
— mulai ditinggalkan, pada Brown vs Plata menunjukkan, kembalinya dalam
waktu dekat analisis kedokteran dan masalah penyakit publik, kepada pandangan
publik kami atas imaninasi terhadap penjara dan pemahaman konstitusional kita
terhadap penghukuman yang manusiawi.
Hal tersebut didasarkan kepada gambaran yang
mengejutkan bahwa tahanan yang menderita penyakit mental dan fisik kronis yang
kompleks sebagian besar ditinggalkan oleh Negara modern menuju kekacauan dengan
lebih mengingatkan kepada penjara abad pertengahan dari penjara modern, kasus Brown
vs Plata lebih menggambarkan bahwa sistem pemasyarakatan yang telah
bergeser jauh sekali dari asal pemasyarakatan medical model yang lama
dengannya aspirasi yang telah teruji secara ilmiah dalam pengobatan pidana.
Namun di dalam kasus Brown vs Plata memunculkan
norma yang memerintahkan kepada Pemerintah California agar secara signifikan
mengurangi populasi penjara dalam rangka melaksanakan reformasi secara meluas
dalam penyampaiannya dengan menggunakan perawatan kesehatan, sepanjang dengan
pemaparan yang mendalam bahwa penyakit kronis (baik mental maupun fisik) telah
memiliki populasi di penjara, maka kita dapat meramalkan munculnya medical
model yang baru.
Meskipun medical model pada hukuman percobaan
dan pembebasan bersyarat belum sepenuhnya ditinggalkan, namun pada populasi
tertentu telah ditargetkan dengan sistem pengobatan yang tepat.
Medical model adalah sebuah pendekatan patologi yang bertujuan
untuk mencari perawatan medis untuk gejala yang di diagnosis dan sindrom dan
memperlakukan tubuh manusia sebagai mekanisme yang sangat kompleks.
Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat
adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum
guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para
polisi memiliki kekuasan untuk memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka
kepada lembaga kerja sosial.
- Bureaucratic
Model
Penyelesaian sengketa di antara warga negara merupakan
salah satu pelaksanaan fungsi utama dari Pemerintahan, yaitu – meskipun terjadi
pelanggaran kewenangan antara beberapa institusi administrasi – berdasarkan
sejarah termasuk ke dalam ranah peradilan. Bagaimana suatu sengketa
diselesaikan merupakan pertanyaan secara politis yang penting, bukan hanya
disebabkan karena pemaknaan dan implementasi atas Undang-undang yang tertulis,
tetapi juga dikarenakan apa yang dimaksud dengan Masyarakat, sistem politiknya,
dan pandangan terhadap perseorangan yang berhadapan dengan Negara. Pentingnya peradilan dan prosesnya tersebut, sebagaimana disebutkan dengan
jelas oleh Thurmond Arnold sebagai Simbol dari Pemerintahan
Sebuah penilaian yang berarti dari tenor keadilan
dalam masyarakat harus fokus pada sidang pengadilan. Sementara pengadilan
banding lebih terlihat, mereka juga lebih dibersihkan dan terisolasi dari
realitas yang paling sengketa. Selain itu, mereka mempengaruhi langsung hanya
sebagian kecil dari semua warga negara yang datang dalam kontak dengan
peradilan. Dalam banyak hal sidang pengadilan yang paling menarik untuk
memeriksa adalah pengadilan pidana, khususnya pengadilan kejahatan di mana
taruhannya tertinggi untuk kedua terdakwa dan masyarakat. Dalam pengadilan ini
pemerintah terlibat sebagai inisiator, peserta, dan mediator. Warga negara ini
juga merupakan gabungan pihak tidak mau dan sering lawan tak berdaya dan
didiskreditkan.
Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa
diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien.
Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika
terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan
pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan
berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.
- Just
Deserts Model
Sistem Peradilan Pidana dengan metode just desert
model beranjak dari Teori Pemidanaan Just Desert yang dikemukakan
oleh Andrew von Hirsch pada tahun 1976.
Teori Pemidanaan Just Deserts menganjurkan
bahwa hukuman harus proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Para pendukung filsafat pemidanaan just deserts menekankan pentingnya
proses hukum, penentuan hukuman, dan penghapusan diskresi peradilan dalam
praktek peradilan pidana. Teori ini menjadi sangat mempengaruhi di Amerika
pada tahun 1970-an.
Setiap orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan
tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai dengan hak asasinya,
sehingga hanya mereka yang bersalah yang dihukum. Juga memberi ganti kerugian
kepada yang bersalah.
Teori Just Deserts merupakan derivasi dari
pendapat Immanuel Kant, dimana di dalam bukunya, Kant,
berpandangan bahwa manusia merupakan agen yang bersifat bebas berakal. Oleh
karena itu, setiap orang harus mengetahui akibat hukum dari setiap tindakan dan
harus menerima “deserts” (ganjaran) dari setiap perbuatannya. Kegagalan
untuk menghukum yang bersalah, menurut Kant, merupakan pelanggaran terhadap
keadilan. Namun, Kant menyatakan bahwa ganjaran dalam bentuk hukuman dari
pengadilan hanya harus ditimbulkan untuk menghukum mereka yang telah melakukan
kejahatan dan bukan untuk tujuan lain.
Untuk mempertahankan alasan moral dari teori tersebut,
kemudia just deserts theory mengajukan pertimbangan bahwa pelaku/petindak
seharusnya dihukum, namun hanya karena mereka patut menerima hukuman tersebut.
Penganut just deserts theory mengklaim, walaupun terdapat keuntungan
positif lainnya yang munkin muncul sebagai hasil dari pemidanaan, misalnya
seperti pencegahan kejahatan lebih lanjut, hal tersebut merupakan akibat
sampingan (incidental effects) dan bukan merupakan tujuan dari
pemidanaan.
Sehingga, agar just deserts model menjadi layak
dan efisien, maka skala dan tingkatan (tariff) dari jenis kejahatan dan
pemidanaannya menjadi sangat dibutuhkan. Berdasarkan prinsip sistem tingkatan (principle
of tariff system), maka pelaku/petindak akan menerima secara proporsional
berdasarkan beratnya pelanggaran dan kesalahan, serta kelayakan dalam menghukum
pelaku/petindak.
Untuk mempertahankan tinkatan tersebut, maka kejahatan
atau tindak pidana perlu diklasifikasikan berdasarkan tingkatan atau
kategorinya yang didasakan kepada tingkat keseriusan dari perbuatan yang
dilakukan, dan pemidanaan harus disesuaikan berdasarkan kategori tersebut untuk
memberikan ketidaknyamanan bagi pelaku/petindak.
Di Indonesia, tariff systems nampaknya mulai
mempengaruhi, walaupun hanya dicoba untuk diterapkan secara parsial yaitu pada
pidana denda saja.
- Integrated
Criminal Justice System Model
Nilai- nilai yang mendasari Intregrated Criminal
Justice System Model atau Model Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah:
- Menuntut
adanya keselarasan hubungan antar subsistem secara administrasi.
- Menghukum
pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut.
- Menegakkan
dan memajukan the rule of law dan penghormatan kepada hukum, dengan
menjamin adanya adanya due procees dan perlakuan yang wajar bagi
tersangka, terdakwa, terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang
yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
- Menjaga
hukum dan ketertiban.
Tujuan dari Sistem Peradilan pidana sebagai salah satu
sarana dalam penanggulangan kejahatan antara lain:
- Mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan
- Menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana
- Mengusahakan
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Sistem peradilan pidana, bila diterapkan secara
konsisten, konsekuen dan terpadu antara subsistem, maka manfaat sistem
peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana, juga
bermanfaat dalam hal:
- Menghasilkan
data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi.
Data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam
menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan
- Mengetahui
kebarhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan
kejahatan
- Kedua
butir nomor 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah
dalam kebijakan sosial yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mewujudkan tujuan
nasional
- Memberikan
jaminan kepastian hukum baik kepada inidividu maupun masyarakat.
Terkait dengan munculnya wacana Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), maka ada beberapa
hal yang patut untuk ditelaah, dimana kata “Integrated“ atau “Terpadu“,
sangat menarik perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah sistem dalam “the
criminal justice system”. Hal ini karena dalam istilah system,
seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination),
di samping karateristik yang lain seperti, adanya tujuan-tujuan yang jelas dari
sistem, proses input-throughput–output and feedback, sistem control yang
efektif, negative-anthropy dan sebagainya.
Menurut Kats and Kahn, sebagai common
characteristics, coordination diartikan sebagai fixed control arrangements. It
is the addition of nations devices for assuring the functional articulation of
task ang roles- controlling the speed of assembly ine, for example. Integration
merupakan the achievement of anification through hared norm and values.
Muladi, menyetujui apabila penyebutan Sistem Peradilan
Pidana Terpadu tersebut, lebih diarahkan untuk memberikan tekanan, agar
integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan.[100] Menurut Black’s law
Dictionary, rumusan dari Sistem peradilan Pidana Terpadu atau Integrated
Criminal Justice System adalah
“… the collective institutions through which an
accused offender passes until the accusations have been disposedof or the
assessed punishment conculed…”.
Pemahaman terhadap Sistem Peradilan Pidana Terpadu
atau SPPT yang sesungguhnya, adalah bukan saja pemahaman dalam konsep
“integrasi“ itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana yang terpadu juga
mencakup makna substansiil dari urgensitas simbolis prosedur yang terintegrasi
tetapi juga menyentuh aspek filosofis makna keadilan secara terintegrasi.
Sehingga dengan demikian penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan
dibingkai oleh norma peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana
prosedural, dapat lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum
yang sekaligus menegakkan keadilan.
Pemahaman terhadap pandangan tersebut di atas, NV
Pillai menyatakan bahwa:
“ …….. the concept of an Integrated Criminal
Justice System does not envisage the entire system working as one unit or
department or as different sections on one unified service. Rather, it might be
said to work on the principle of ‘unity in diversity’, somewhat like that under
which the armed forces function. Each of the three main armed services own its
distinctive roles, its training schemes, its own personnel and its own operational
methods.”
(Terjemahan ==> Konsep Sistem
Peradilan Pidana Terpadu tidak membayangkan seluruh sistem bekerja sebagai satu
unit atau departemen atau sebagai bagian yang berbeda pada satu layanan
terpadu. Sebaliknya, dapat dikatakan bekerja pada prinsip ‘kesatuan dalam
keanekaragaman’, agaknya seperti itu sebagaimana fungsi dari angkatan
bersenjata. Masing-masing dari tiga angkatan bersenjata utama memiliki peran
yang khas, skema pelatihan, personel sendiri dan metode operasionalnya sendiri.)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentukan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau integrated criminal justice system
(ICJS) memiliki konsekuensi bagi semua pihak yang terlibat untuk menemukan
formulasi yang tepat dalam membangun sistem koordinasi antar institusi.
1 komentar:
Posting Komentar