Kamis, 21 April 2016

ANALISIS HUKUM DELIK-DELIK DI LUAR KUHP



ANALISIS HUKUM
 TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN


OLEH :

NAMA       : ILHAM  KASWANTO
NIM           : H1 A1 14 103
KELAS      : B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya dan sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Hukum Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Perbankan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dalam penyusunan makalah ini semoga terus berkarya mewujudkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik. Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini.

                                                                                                   Kendari,      April  2016


                                                                                                   Ilham Kaswanto


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................   i
DAFTAR ISI .....................................................................................................   2
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang....................................................................................   1
1.2.Rumusan Masalah ...............................................................................   2
1.3.Tujuan .................................................................................................   2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Tindak Pidana ..................................................................   3
2.2. Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Pakar .................................   3
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Analisis Hukum Tindak Pidana Dalam Undang-undang
perbankan ..........................................................................................   5
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ........................................................................................   13
4.2. Saran ..................................................................................................   13
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini belum ada satu kesepakatan dalam pemakaian istilah mengenai tindak pidana yang perbuatannya merugikan ekonomi keuamgan yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Ada yang memakai istilah Tindak Pidana Perbankan, dan ada juga yang memakai istilah Tindak Pidana di bidang perbankan, bahkan ada yang memakai kedua-keduanya dengan mendasarkan kepada peraturan yang dilanggarnya. Berkaitan dengan hal ini Moh Anwar (Muhamad Djumhana, 2003:454), membedakan kedua pengertian tersebut berdasarkan kepada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tindak kejahatan bank terhadap bank lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang, tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias melewati batas-batas territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika, tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama. Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).
1.2. Rumusan Masalah
     1.  Apa saja jenis-jenis Tindak Pidana dalam Undang-undang Perbankan
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis-jenis Tindak Pidana dalam undang-undang perbankan





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pengertian Tindak Pidana
Tidak pidana tidak hanya semata sebagai gejala hukum. Para ahli hukum pun menganalisis terhadap tindak pidana tersebut. Berbagai pengertian tindak pidana dikemukakan yang didasarkan dari sudut mana mereka memandang, apakah dari segi sosiologis, psikologis, atau dari segi lainnya. Ini memang hal yang wajar mengingat keterkaitan tidak pidana dengan aspek-aspek lain merupakan keterkaitan yang saling mendukung dan mempengaruhi.
Berdasarkan sumbernya, maka ada 2 kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kodifikasi hukum pidana materill. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Seperti tindak pidana perbankan yang masuk ke dakam golongan tindak pidana khusus karena tindakm pidana perbankan dan sanksi pidananya telah diatur tersendiri dalam UUP.
Walaupun telah ada kodifikasi tetapi, adanya tindak pidana diluar KUHP adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari.karena perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.
2.2. Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Pakar
W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht ist het strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori, tindak pidana (strafbaat feit) adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Pompe memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana, atau berpegang pada pendirian yang positief rechtelijke.
 Moeljatno, memberi arti terhadap tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Perbuatan (manusia);
2.      Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (ini merupakan syarat formil);
3.      Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHPidana. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan. Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.



BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Perbankan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu:
a Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
d Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Ketentuan ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
b. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
c. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2),diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun danpaling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
d. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
1) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
2) Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
3) Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.
Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a) Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b) Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku bagi bank, Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
3.2. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan
Selain keempat macam tindak pidana di bidang perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana Pasar Modal (TTPM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang ketentuan pidana (pasal 103-110). Menurut pasal 110, TTPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak pidana, yaitu:
1. TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal 106, dan pasal 107;
2. TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan pasal 109.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana Pasar Modal secara singkat dapat didefinisikan sebagai, segala perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pasar Modal.
Adapun peran bank dalam kegiatan pasar modal adalah sebagai berikut:
a. Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya;
b. Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang.
Berdasarkan peranannya dalam kegiatan pasar modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
a. Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai custodian tanpa persetujuan Bapepam;
b. Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan usaha sebagai wali amanat yang tidak terdaftar di Bapepam.
Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.
Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem perbankanmenjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a.       Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu;
b.      Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c.       Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d.      Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada
e.       bank yang bersangkutan;
f.       Penggunaan fasilitas transfer;
g.      Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.






BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu:
a.       Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b.      Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c.       Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
d.      Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Selain keempat macam tindak pidana di bidang perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
a.       Tindak Pidana Pasar Modal
b.      Tindak Pidana Pencucian Uang
4.2. Saran
1. Kejahatan perbankan yang melibatkan “orang dalam” kerap terjadi karena dominasi seseorang/sekelompok orang terhadap kebijakan dan administrasi serta lemahnya pengawasan, baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun pengawas eksternal.Sehingga perlunya ada regulasi pengawasan yang ketat terhadap UU Perbankan.
2. Berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan sehingga menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal dan terjadi kegagalan bank karena kecurangan orang dalam menjadi lebih tinggi.Hendaknya pengawasan terhadap internal Perbankan lebih di maksimalkan lagi.
3. Nasabah tidak terlibat untuk turut mengawasi bank hanya regulator saja yang melakukan pengawasan. Sepatutnya ketika pengawas menemukan praktik kecurangan pada bank, praktik yang dianggap oleh pengawas sebagai tidak aman dan tidak sehat (unsafe and unsound), pengawas harus tegas memerintahkan agar praktik tersebut dihentikan (cease and desist order).



                                                       









DAFTAR PUSTAKA



0 komentar: