ANALISIS HUKUM
TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
OLEH :
NAMA : ILHAM KASWANTO
NIM :
H1 A1 14 103
KELAS : B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya dan
sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Hukum
Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Perbankan.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini semoga terus berkarya mewujudkan tulisan-tulisan yang
mengacu terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik. Penulis berharap,
semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan dan
kesalahan. Penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini.
Kendari, April 2016
Ilham Kaswanto
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang.................................................................................... 1
1.2.Rumusan
Masalah ............................................................................... 2
1.3.Tujuan
................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Tindak Pidana .................................................................. 3
2.2. Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Pakar ................................. 3
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Analisis Hukum Tindak Pidana Dalam
Undang-undang
perbankan .......................................................................................... 5
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ........................................................................................ 13
4.2. Saran .................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini belum ada satu kesepakatan dalam pemakaian
istilah mengenai tindak pidana yang perbuatannya merugikan ekonomi keuamgan
yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Ada yang memakai istilah Tindak
Pidana Perbankan, dan ada juga yang memakai istilah Tindak Pidana di bidang
perbankan, bahkan ada yang memakai kedua-keduanya dengan mendasarkan kepada
peraturan yang dilanggarnya. Berkaitan dengan hal ini Moh Anwar (Muhamad
Djumhana, 2003:454), membedakan kedua pengertian tersebut berdasarkan kepada
perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar
hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa disimpulkan
bahwa terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun
maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana
Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama
mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau
orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena
dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam
bank atau keduanya.
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan”
dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang
mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak
pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan
sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa berupa
tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tindak kejahatan bank terhadap bank
lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian bank
dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang, tindak pidana
perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias melewati batas-batas
territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika,
tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama. Adapun ruang lingkup terjadinya
tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia
perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih
luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat
dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma
kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur
sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan
oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa
saja jenis-jenis Tindak Pidana dalam Undang-undang Perbankan
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis-jenis Tindak
Pidana dalam undang-undang perbankan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pengertian Tindak Pidana
Tidak pidana tidak hanya semata sebagai gejala
hukum. Para ahli hukum pun menganalisis terhadap tindak pidana tersebut.
Berbagai pengertian tindak pidana dikemukakan yang didasarkan dari sudut mana
mereka memandang, apakah dari segi sosiologis, psikologis, atau dari segi
lainnya. Ini memang hal yang wajar mengingat keterkaitan tidak pidana dengan
aspek-aspek lain merupakan keterkaitan yang saling mendukung dan mempengaruhi.
Berdasarkan sumbernya, maka ada 2 kelompok tindak
pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum
adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), sebagai kodifikasi hukum pidana materill. Sedangkan tindak pidana
khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
Seperti tindak pidana perbankan yang masuk ke dakam golongan tindak pidana
khusus karena tindakm pidana perbankan dan sanksi pidananya telah diatur
tersendiri dalam UUP.
Walaupun telah ada kodifikasi tetapi, adanya tindak
pidana diluar KUHP adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari.karena perbuatan-perbuatan
tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu
terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
2.2. Pengertian
Tindak Pidana Menurut Para Pakar
W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif
tindak pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam
pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht ist het
strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling
als strafbaar in omschreven). Menurut teori, tindak pidana (strafbaat feit)
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan
diancam pidana. Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya
tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan
adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat
dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau
kesalahan. Pompe memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana,
atau berpegang pada pendirian yang positief rechtelijke.
Moeljatno,
memberi arti terhadap tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (ini
merupakan syarat formil);
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat
materiil).
Syarat formil harus ada, karena adanya asas
legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHPidana. Syarat materiil itu harus ada
juga, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan. Moeljatno
berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat
tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat
pada orang yang berbuat.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Tindak Pidana Dalam
Undang-Undang Perbankan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur
mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu
dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu:
a
Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b
Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c
Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
d
Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam
tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Yang Berkaitan
Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana
bank gelap. Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta
denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Ketentuan ayat (2)
menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan,
yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan
baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Ketentuan ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman
hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau
pimpinannya.
b. Tindak Pidana Yang Berkaitan
Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa
barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai
bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan
yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota
Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A
dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)
c. Tindak Pidana Yang Berkaitan
Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota
Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan
yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2)
dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2),diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya
1 (satu) tahun danpaling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
d. Tindak Pidana Yang Berkaitan
Dengan Usaha Bank
Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa,
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
1)
Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi
atau rekening suatu bank;
2)
Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
3)
Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya
suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan
sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak
catatan pembukuan tersebut.
Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal
49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi
atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a)
Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu
imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk
keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang
muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka
pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes,
cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam rangka
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang
melebihi batas kreditnya pada bank;
b)
Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainya yang berlaku bagi bank, Diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa,
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang
saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
3.2. Tindak Pidana Lain Yang
Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan
Selain keempat macam tindak pidana di bidang
perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang
berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
a.
Tindak Pidana Pasar Modal
b.
Tindak Pidana Pencucian Uang
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam
tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana Pasar
Modal (TTPM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang ketentuan pidana (pasal
103-110). Menurut pasal 110, TTPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak
pidana, yaitu:
1.
TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal
106, dan pasal 107;
2.
TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan
pasal 109.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana Pasar
Modal secara singkat dapat didefinisikan sebagai, segala perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pasar Modal.
Adapun
peran bank dalam kegiatan pasar modal adalah sebagai berikut:
a.
Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak yang memberikan jasa penitipan Efek
dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima
dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya;
b.
Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai pihak yang mewakili kepentingan
pemegang Efek yang bersifat utang.
Berdasarkan
peranannya dalam kegiatan pasar modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
a.
Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan kegiatan usaha
sebagai custodian tanpa persetujuan Bapepam;
b.
Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan usaha sebagai wali
amanat yang tidak terdaftar di Bapepam.
Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa
Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan,
atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal
30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)
secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau
melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan
oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,
perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau
mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi
bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.
Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada
umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar.
Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko
terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia
tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama,
peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem
perbankanmenjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering.
Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor
perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak
kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk
melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank
untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan
terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau
lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh
penegak hukum.
Keterlibatan
perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu;
b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/
giro;
c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang
disimpan pada
e. bank yang bersangkutan;
f. Penggunaan fasilitas transfer;
g. Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama dengan
oknum pejabat bank terkait; dan pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya
kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha
bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan
keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka
penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya
mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan
antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur
mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu
dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu:
a. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan
pembinaan
d. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Selain keempat macam tindak pidana di bidang
perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang
berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
4.2. Saran
1. Kejahatan perbankan
yang melibatkan “orang dalam” kerap terjadi karena dominasi
seseorang/sekelompok orang terhadap kebijakan dan administrasi serta lemahnya
pengawasan, baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun pengawas
eksternal.Sehingga perlunya ada regulasi pengawasan yang ketat terhadap UU
Perbankan.
2. Berbagai ketentuan
yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan sehingga
menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal dan terjadi kegagalan bank
karena kecurangan orang dalam menjadi lebih tinggi.Hendaknya pengawasan
terhadap internal Perbankan lebih di maksimalkan lagi.
3. Nasabah tidak
terlibat untuk turut mengawasi bank hanya regulator saja yang melakukan
pengawasan. Sepatutnya ketika pengawas menemukan praktik kecurangan pada bank,
praktik yang dianggap oleh pengawas sebagai tidak aman dan tidak sehat (unsafe
and unsound), pengawas harus tegas memerintahkan agar praktik tersebut
dihentikan (cease and desist order).
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar